Pengunsi Rohingya meninggalkan kampung halamannya ke Bangladesh (Foto: Al jazeera)
Jakarta – Sejumlah kalangan mengecam aksi membabi-buta yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya. Pasalnya aksi biadab itu telah memakan ratusan nyawa tak berdosa.
Politikus PAN, Teguh Juwarno meminta pemerintah Indonesia untuk menyatakan sikap tegas atas peristiwa pembantaian masal tersebut. Anggota Komisi VI ini meminta agar Indonesia bisa menghentikan kerjasama dengan Myanmar. Salah satunya terkait perdagangan.
“Kita akan suarakan. Menurut saya ini hal yang baik perlu kita suarakan agar kita menghentikan perdagangan. Selama ini angka perdagangan dengan Myanmar belum terlalu signifikan, menurut saya perlu sekali kita hentikan perjanjian dagang dengan mereka,” tegas Teguh di Jakarta, Sabtu (2/9/2017).
Teguh Juwarno merupakan satu dari puluhan orang yang menggeruduk mengeruduk Kedutaan Besar Myanmar di Menteng, Jakarta Pusat. Mereka yang tergabung Masyarakat Profesional Bagi Kemanusian Rohingnya datang untuk mendesak rezim militer dan sipil Myanmar menghentikan kekerasan dan genosida pada etnis Rohingya. Dalam aksi tersebut, poster bergambar tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi sempat dibakar.
Bukan tanpa sebab hal itu disampaikan Teguh. Pasalnya, apa yang dilakukan pemerintah belum cukup untuk merespon aksi biadab tersebut. Sementara apa yang terjadi di Rakhine sungguh mengerikan.
“Sikap PAN tegas agar Duta Besar Indonesia di Myanmar ditarik dan sebaliknya Dubes Myanmar diusir dan dikembalikan ke negaranya,” ujar Teguh.
Mantan Menteri Perindustrian (Menperin) Fahmi Idris yang mengikuti aksi tersebut juga mengutuk keras pembantaian muslim Rohingya tersebut. Fahmi juga meminta pemerintah Indonesia segera berkirim surat untuk menghentikan kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar itu. Sebab, pembantaian kemanusiaan itu jelas-jelas melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Anak kecil dibakar dan perempuan dibantai, terjadi pembunuhan etnis yang sangat kejam. Karena kalau dibiarkan begitu saja, akan terus melanjutkan aksinya,” ungkap Fahmi.
Hal tak jauh berbeda juga disampaikan sekretaris Fraksi PKS Sukamta dan Sekjen PPP yang juga anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Dikatakan Sukamta, tindak kekerasan yang telah berlaangsung puluhan tahun ini bisa dikategorikan pembersihan etnis (ethnic cleansing) ini sudah masuk pelanggaran HAM berat.
“Karenanya harus ada tindakan sesegera mungkin, kondisi saat ini sudah darurat kemanusiaan. Jika tidak ada desakan yang kuat dari dunia internasional, korban jiwa akan semakin banyak,” tegas Sukamta.
Sukamta berharap pemerintah indonesia memainkan peran strategis agar konflik tersebut mereda. “Upaya rekonsiliasi juga perlu didorong, setidaknya dengan mempertemukan antara 3 pihak; militer, kelompok sipil yang dimotori Aung San Suu Kyi serta perwakilan suku-suku. Indonesia sangat mungkin untuk diterima memediasi berbagai pihak tersebut,” ujar Sukamta.
Sementara itu, Arsul Sani meminta agar pemerintah Indonesia segera mengambil peran strategis. Sebab, apa yang terjadi di Myanmar ini sangat berpotensi menimbulkan persoalan serius.
“Ini berpotensi menimbukan persolan serius stabilitas keamanan kawasan ASEAN apabila kemudian umat Islam dari berbagai pelosok negara pergi ke Myanmar untuk membela Suku Rohingya,” terang Arsul.
Disisi lain, dikatakan Arsul, Prinsip Non-Intervensi hanya untuk masalah politik, bukan untuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi. “Prinsip Non-Intervensi ini ditempatkan dalam kerangka Prinsip Responsibility to Protect (tanggung jawab untuk melindungi) sebagai prinsip utama yang diakui PBB dalam hubungan antar negara. PPP menilai bahwa saat ini yang dihadapi ASEAN adalah situasi yang mengarah kepada kejahatan genosida (pembunuhan besar-besaran dalam rangka pembersihan etnis), bukan lagi persoalan rivalitas politik antar kelompok dalam suatu negara,” terang Arsul.
TAGS : Muslim Rohingnya Myanmar PBB
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin