JawaPos.com – Kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen pada akhir 2021 dikritisi banyak pihak. Selain dinilai tak efektif mengurangi prevalensi masyarakat merokok, kebijakan itu bakal memangkas pendapatan petani tembakau dan buruh pabrik rokok.
“Masyarakat tetap merokok, tetapi kalau rokonya mahal karena cukai rokoknya dinaikkan, maka masyarakat akan beralih ke rokok lintingan atau rokok illegal,” papar Sosilog Universitas Airlangga yang kini menjadi dosen tetap di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Solahudin di Jakarta, Kamis (25/2).
Menurutnya, menaikan cukai rokok setinggi apapun tidak akan mengurangi jumlah anggota masyarakat merokok, jika tidak diikuti kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok. Sebab, merokok sampai saat ini masih menjadi budaya yang erat terutama di kalangan masyarakat sehingga masih susah untuk dihentikan hanya melalui program kenaikan cukai.
Mantan aktifis mahasiswa 1998 ini mengaku tidak setuju dengan kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok. Alasannya, selain tidak berpengaruh positif pada penurunan jumlah masyarakat merokok, lambat laun akan mematikan kesempatan kerja baik bagi buruh industri rokok maupun petani tembakau itu sendiri.
“Kecuali kalau pemerintah sudah siap dengan lapangan pekerjaan pengganti bagi jutaan tenaga kerja di sektor industri rokok dan mata pencaharian pengganti bagi petani tembakau. Dan tentu saja mencari pengganti lapangan pekerjaan dan mata pencaharian bagi petani tembakau itu bukan hal yang mudah. Apalagi di saat ekonomi mengalami krisis seperti saat ini,” papar Umar.
Sependapat dengan Umar Solahudin, Dosen Universitas Negeri Jember Dr Fendy Setyawan mengungkapkan bahwa mengalihkan mata pencaharian dari pertanian atau perkebunan tembakau ke sektor lain, bukan pilihan yang mudah bagi kalangan petani tembakau. Alasannya tidak semua lahan itu cocok untuk selain tembakau yang memiliki nilai ekonomi.
Editor : Mohamad Nur Asikin
Credit: Source link