JawaPos.com – ”Koorperatif.” Itulah alasan yang disampaikan atas pertanyaan: mengapa terdakwa kasus kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), Malang, Jawa Timur, Julianto Eka Putra (JEP) tak ditahan? Bahkan, di persidangan terakhir (4/7), terdakwa yang diduga melakukan kekerasan seksual kepada 14 siswi SPI itu datang tanpa mengenakan baju tahanan dan pengawalan ketat oleh petugas.
”Sejak jadi tersangka, Julianto tidak ditahan,” keluh Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait kemarin (8/7). Arist menuturkan, seharusnya JEP ditahan sejak awal. Apalagi, saat ini status hukumnya adalah terdakwa dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun penjara jika merujuk pada Pasal 82 Undang-Undang 17/2016. Ditambah, ancaman hukuman tambahan berupa kebiri.
Memang, kata dia, setelah ditetapkan tersangka, JEP sempat mengajukan praperadilan di PN Surabaya. Namun, pengajuan itu ditolak majelis hakim. Lalu, sehari setelahnya, status JEP dinaikkan menjadi terdakwa. ”Tapi ya, tetap gak ditahan. Ini bisa jadi preseden buruk dalam penegakan hukum bagi predator seksual,” katanya.
Selain itu, menurut dia, banyak risiko yang mungkin terjadi jika terdakwa tak ditahan. Mulai melarikan diri, menghilangkan barang bukti, hingga melakukan hal-hal yang mungkin memengaruhi status hukumnya. Termasuk mengancam para korban. ”Anak-anak (korban, Red) mengalami itu, diancam dipatahkan kakinya, dituntut balik, macam-macam,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, ancaman tersebut membuat kondisi para korban kian tertekan. Padahal, pemulihan trauma pasca kekerasan seksual masih berjalan. Nyaris setahun, pihaknya bersama LPSK telah melakukan pendampingan dan upaya pemulihan psikosomatik kepada korban dan keluarga.
Rencananya, sidang lanjutan kasus kekerasan seksual ini kembali diadakan pada 20 Juli. Dia berharap jaksa penuntut umum (JPU) bisa memberikan tuntutan maksimal. Termasuk tambahan hukuman kebiri bagi pelaku. ”Karena sudah seharusnya pelaku mendapat hukuman maksimal untuk memberikan efek jera,” tuturnya.
Pengacara Julianto Eka Putra, Jeffry Simatupang, menegaskan bahwa ditahan atau tidaknya terdakwa Julianto merupakan kewenangan majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Julianto, menurut dia, pantas tak ditahan karena bersikap kooperatif. Mulai proses penyidikan hingga diadili di PN Malang. ”Di polda, wajib lapor seminggu sekali selalu datang. Begitu pula ketika di kejaksaan. Sekarang setiap sidang selalu hadir,” ujar Jeffry.
Dia juga sudah memberikan jaminan kepada hakim bahwa kliennya tak akan melarikan diri, tak mengulangi perbuatannya, dan tak menghilangkan barang bukti. Daripada memikirkan ditahan atau tidak, Jeffry lebih memilih berfokus menjalani persidangan. ”Kalau nanti putusannya seperti apa, pasti akan dijalani. Kami punya keyakinan terdakwa tidak bersalah. Sudah kami buktikan dalam persidangan. Dakwaan jaksa tidak bisa dibuktikan,” tegasnya.
Dosen hukum acara pidana Ubaya Peter Jeremiah Setiawan berpendapat, terdakwa perkara pencabulan seharusnya ditahan karena sudah memenuhi alasan objektif merujuk pada Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yakni, ancaman hukumannya lebih dari lima tahun penjara. ”Harusnya, kalau secara objektif ancamannya lebih dari lima tahun, ya ditahan,” kata Peter.
Selain itu, alasan subjektif hakim, jaksa penuntut umum, ataupun penyidik untuk menahan atau tidak terdakwa pencabulan bukan hanya alasan normatif seperti tak melarikan diri, tak mengulangi perbuatan, dan tak menghilangkan barang bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Alasan lain juga layak dipertimbangkan dalam kasus pencabulan. ”(Misalnya) perkaranya jadi sorotan publik, korbannya anak-anak, dan jumlah korbannya mungkin tidak sedikit,” tuturnya. (mia/gas/c14/cak)
Credit: Source link