Gedung KPK RI (foto: Jurnas)
Jakarta – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Direktur Pengembangan dan Niaga PT Pembangkit Jawa-Bali (PT PJB) Hengky Heru Basudewo terkait penunjukkan langsung PT Blackgold Natural Resources untuk menggarap proyek PLTU Riau-1.
Hengky mengaku, penyidik KPK mengorek penunjukan langsung perusahaan pimpinan Johannes Budisutrisno Kotjo untuk menggarap proyek PLTU Riau-1 yang berujung rasuah tersebut.
“Itu di luar domainnya PJB. Itu yang melakukan bukan kami,” kata Hengky, usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus suap pembangunan PLTU Riau-1, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (14/8).
Meski telah terdapat adanya dugaan tindak kejahatan korupsi, Hengky menepis, pihaknya melakukan penunjukkan langsung untuk menggarap proyek itu.
Menurutnya, ditunjuknya Blackgold merupakan implementasi dari Permen ESDM no 09 tahun 2016, dimana pengembangan Independent Power Producer (IPP) mulut tambang minimum harus dimiliki 10 persen dari pemilik tambang atau afiliasinya.
“Jadi bukan kita yang menunjuk, tapi kita patuh pada Permen ESDM No 09 tahun 2016,” katanya.
Jika kebijakan penunjukkan langsung Blackgold sebagai penggarap PLTU bukan dari PT PJB, maka secara tak langsung PLN diduga selaku perusahaan induk yang justru melakukan hal tersebut.
Hanya saja, Heru enggan membeberkan masalah ini kepada publik. “Tanya saja sama penyidik,” tandasnya.
Sebagai informasi, dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo sebagai tersangka.
Kotjo sendiri diamankan setelah tertangkap tangan menyuap Eni Maulani Saragih sejumlah Rp 500 juta untuk memuluskan proses penandatanganan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau 1 2×300 Mega Watt (MW). PLTU Riau-1 ini merupakan bagian dari program listrik 35.000 MW.
Adapun pemberian uang sejumlah Rp 500 juta itu merupakan pemberian keempat dari Johannes kepada Eni. Uang tersebut merupakan bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari nilai proyek untuk Eni dan kawan-kawannya. Total uang yang telah diberikan setidak-tidaknya mencapai Rp 4,8 milyar.
Dalam proses suap, pemberian pertama yang dilakukan Johannes kepada Eni terjadi pada bulan Desember 2017 sejumlah Rp 2 milyar, Maret 2018 Rp 2 milyar, dan 8 Juni 2018 sebesar Rp 300 juta.
Atas perbuatannya, Eni Maulani Saragih selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Sedangkan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemberi suap dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
TAGS : KPK Suap PLTU Riau Dirut PLN
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin