Sekitar 700.000 Muslim Rohingya telah menyeberangi perbatasan ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan di Myanmar. (Foto: AP)
Jakarta – Seorang pengusaha muda di Kutupalong megacamp di Bangladesh, Kamal Hussein, 24, mengaku mendapat suatu keuntungan di tengah krisis yang melanda negaranya jika hujan tiba melanda daerahnya.
Hal itu lantaran penghasilannya berasal dari deretan hampir 50 titik pengisian ponsel yang diamankan oleh bantuan bambu.
Namun jika hujan tak turun maka ia pun mengatakan takkan mendapat keuntungan, pasalnya orang-orang tak akan datang ke tempatnya.
“Bisnis lambat, jika cerah karena kebanyakan orang memiliki panel surya sehingga mereka tidak membutuhkan toko kami,” kata Hussein dilansir AChannel.
“Bisnis lebih baik ketika hujan karena panel surya tidak berfungsi”, tambahnya.
Sejak krisis melanda Bangladesh, barang-barang konsumen seperti telepon seluler sangat diminati saat para pengungsi menetap, menghabiskan gaji dan pengiriman uang dari sanak keluarga di luar negeri.
Salesman Kaiser Ahmed mengatakan sebelum krisis Agustus lalu dia menjual lima atau enam telepon seminggu di kamp-kamp yang ada. Namun saat ini ia bisa menjual ratusan handphone.
“Sekarang sekitar 300,” katanya.
Seperti banyak orang Bangladesh lainnya, pendapatan Kaiser telah meningkat sejalan dengan krisis.
Toko-toko untuk memperbaiki dan menggadaikan perhiasan-perhiasan Rohingya, kios-kios yang menjual sari-sari mencolok dan toko-toko yang membebankan para pengungsi 30 sen dolar AS untuk menonton pertandingan sepak bola Liga Primer Inggris secara langsung di TV mereka bermunculan di sekitar pinggiran kamp selama setahun terakhir.
TAGS : Krisis Bangladesh Myanmar
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/39581/Krisis-Jadi-Lahan-Bisnis-di-Bangladesh/