Kasus yang menimpa Meiliana adalah sebuah dilemma relasi masyarakat antar-agama di Indonesia (Foto: Deutsche)
Jakarta – Vonis 18 bulan penjara untuk Meiliana atas tuduhan penistaan agama telah mengusik rasa keadilan kita. Vonis tersebut dibacakan di pengadilan negeri Medan, Sumatera Utara pada 21 Agustus lalu.
Hakim Prasetyo Wibowo yang memimpin peradilan menyebutkan bahwa Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 huruf a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Muhd. Abdullah Darraz menyampaikan rasa prihatin dan penyesalan atas vonis yang telah dijatuhkan atas Meiliana.
“Rasa keadilan kita kembali terkoyak karena proses hukum yang abai untuk memberikan rasa keadilan pada warganya,” ujarnya.
Vonis hukum ini menguatkan dugaan kurangnya pemahaman hakim dan jaksa atas isu-isu hak asasi manusia yang berkembang, terlebih penggunaan rujukan UU PNPS 1965 tentang penodaan agama yang sarat akan peluang pelanggaran HAM.
Selain itu, Darraz juga menyoroti lemahnya kapasitas dan perspektif penegak hukum dalam menyikapi kasus-kasus sensitif keagamaan.
“Ini adalah peran strategis komisi yudisial untuk memperkuat pemahaman hakim pada isu-isu HAM dan minoritas. Jangan sampai vonis hakim justru semakin memperuncing konflik di tengah masyarakat” jelas Darraz.
Namun lebih dari itu, MAARIF Institute menghimbau seluruh lapisan masyarakat untuk tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Mekanisme hukum tidak dibenarkan untuk diintervensi oleh mekanisme politik ataupun bentuk intervensi lainnya di luar hukum.
“Oleh karenanya, MAARIF Institute mengajak masyarakat untuk memberikan dukungan moril kepada Meiliana dan tim pembela untuk dapat memperjuangkan keadilan melalui mekanisme banding dan kasasi. Dukungan publik sangat penting bagi pencarian keadilan Meiliana” kata Darraz.
Kasus yang menimpa Meiliana adalah sebuah dilemma relasi masyarakat antar agama di Indonesia. Salah satunya adalah tidak adanya aturan baku mengenai penggunaan pelantang suara untuk rumah ibadah.
Melalui ini, MAARIF Institute sebagai organisasi sipil masyarakat menyerukan tentang pentingnya pengaturan pelantang tempat ibadah.
“kasus Meiliana merupakan pintu masuk negara untuk mengatur secara resmi penggunaan pelantang suara di rumah ibadah. Aturan ini tak hanya mengatur salah satu rumah ibadah, namun harus berlaku bagi semua tempat ibadah. Aturan ini mesti berpegang pada aspek kepentingan publik yang lebih luas.” terang Darraz.
Di luar proses hukum yang mengecewakan itu, kita teramat prihatin karena dengan adanya kasus ini mengindikasikan semakin menipisnya rasa toleransi beragama dan tenggangrasa sesama warga Negara.
Menjalankan agama dan peribadatan haruslah disertai dengan menenggang rasa, meraba realitas sosial yang berbeda dan menjaga kehidupan sosial masyarakat yang beragam ini tetap harmoni.
“Andai saja setiap pemeluk agama di Indonesia mampu saling menjaga toleransi di antara sesama, saling menjaga agar perilaku beragama dan beribadahnya tidak mengusik relasi dan kenyamanan sosial, maka peristiwa ini tidak perlu terjadi”, tutup Darraz.
TAGS : Agama Tempat Ibadah Pelantang MAARIF Institute
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/39748/-Maarif–Institute-Perlu-Aturan-Resmi-Pelantang-Tempat-Ibadah/