Ilustrasi demokrasi
Oleh: Hersubeno Arief*
Judul tulisan ini bukan sebuah pertanyaan retoris. Tapi pertanyaan serius secara harfiah, “Apakah bangsa kita memang benar masih waras?”
Semua hal di negeri ini diperdebatkan, diplintir, digoreng, dipersekusi. Sekarang trendnya, alih-alih beradu argumentasi, berdebat dengan baik, mereka lebih memilih langsung laporkan ke polisi.
Isu yang paling baru adalah dipilihnya –bukan terpilihnya—Halimah Yacob seorang wanita muslim Melayu, menjadi Presiden Singapura.
Bagi kelompok yang selama ini selalu mengklaim mengusung ide-ide pluralisme, anti intoleransi, tampilnya Halimah Yacob sebagai bukti bahwa negara tetangga tersebut sangat menjunjung tinggi pluralisme, tidak ada diskriminasi. Berbeda jauh dengan Indonesia.
Bagaimana tidak hebat tetangga sebelah ini. Dengan mayoritas Cina non muslim (74%), tapi minoritas Melayu (13%) beragama Islam pula, kok bisa jadi presiden.
Inilah bukti bahwa pluralisme dijaga, hak minoritas dihormati, tidak ada intoleransi. Bukti bahwa tidak ada diskriminasi dalam berpolitik. Di atas itu semuanya, inilah bukti nyata bahwa demokrasi telah berjalan dengan sangat baik.
Mereka abai atau sengaja menafikan fakta bahwa dibandingkan dengan Indonesia, demokrasi di Singapura tidak ada apa-apanya. Di Indonesia banyak pemimpin non muslim yang terpilih dalam konstelasi pilkada di daerah yang mayoritasnya Islam.
Gubernur Kalbar Cornelis, mantan Gubernur Kalteng dua periode Teras Narang dan Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo adalah beberapa contoh figur non muslim yang terpilih di provinsi dan kota berpenduduk mayoritas Islam. Kalau kalahnya Ahok di Pilkada DKI dianggap sebagai bukti demokrasi tidak berjalan di Indonesia, ya sulit kita untuk berdiskusi dengan akal sehat, secara nalar waras.
Apakah penggoreng isu ini, maaf, bodoh? Tidak paham dengan konstitusi dan praktik politik di negara tempat para pengemplang dana BLBI ngendon dengan nyaman, atau pura-pura tidak paham dan mencoba mengaburkan fakta?
Kalau melihat latar belakangnya dipastikan mereka tidak bodoh. Mereka adalah cerdik cendikia. Ada yang dijuluki sebagai pengamat politik Timur Tengah, ada yang disebut sebagai intelektual muda, ada yang menjadi peneliti di lembaga think tank prestisius, dan berbagai atribut lain yang membuat silau mata.
Mereka adalah para anak muda terdidik, intelektual. Aset bangsa yang sangat berharga. Hanya sayangnya ketika terjebak dalam politik partisan –sebuah istilah yang sering mereka nisbahkan untuk menilai dan menghakimi kelompok lawan—akal sehat mereka tidak berjalan. Nalar warasnya mandeg.
Hampir semua orang yang tidak malas membaca sangat tahu, demokrasi di Singapura hanya bersifat artifisial. Jabatan presiden hanyalah jabatan seremonial, gincu adanya persatuan dan persamaan hak. Memang presiden punya hak veto, tapi terbatas pada anggaran negara, jalannya pemerintahan, dan pengangkatan pejabat.
Jabatan presiden dipergilirkan diantara etnis Cina, India dan Melayu. Sudah 47 tahun etnis Melayu tidak jadi presiden. Karena itu pada pemilihan presiden kali ini yang boleh mengajukan diri hanya etnis Melayu. Ini memang giliran jatah Melayu. Sebelumnya Presiden dijabat oleh Tony Tan Keng Yam dari etnis Cina.
Jangan bayangkan Halimah dipilih dalam sebuah kontestasi ketat, seperti Pilkada DKI. Halimah melenggang ke kursi presiden, karena calon lain yang mengajukan diri sebagai presiden tidak memenuhi syarat. Maka otomatis Halimah menjadi presiden. Oleh kalangan penggiat medsos, Halimah ditolak dengan ramai-ramai membuat #Notmypresident, meniru tagar yang banyak diserukan oleh warga AS yang menolak Donald Trump.
Negeri mini ini bisa disebut sebagai negara milik etnis Cina dan secara spesifik milik keluarga, dinasti Lee Kuan Yew. Perdana Menteri sekarang Lee Hsien Loong yang berkuasa sejak tahun 2004 adalah anak PM Pertama Lee Kuan Yew yang berkuasa selama 31 tahun (1959-1961). Jabatan PM sempat diisi oleh Goh Chok Tong (1990-2004). Pada saat itupun Lew Kuan Yew pun masih menjadi penguasa bayangan dengan menjadi menteri senior. Ketika Hsien Loong menjadi PM, Lee Kuan Yew menjadi Menteri Mentor.
People Act Party (PAP) yang didirikan oleh Lee Kuan Yew juga menjadi partai yang berkuasa sejak Singapura merdeka, hingga sekarang. Halimah juga berasal dari PAP dan pernah menjadi ketua parlemen.
Sikap berlebihan dan tidak proporsional juga ditunjukkan beberapa kalangan muslim di Indonesia. Banyak yang terjerumus dalam eforia. Ada yang menyikapi terpilihnya Halimah sebagai era baru kebangkitan Islam dan Melayu di Singapura.
Mereka berharap Halimah bisa menjadi PM berikutnya. Ini juga sikap naif dan menggelikan. Bagi yang punya atau sempat punya mimpi semacam itu, silakan lanjutkan mimpi indah Anda.
Kelompok yang tetap belum move on.
Sebelum Halimah, isu yang coba diplintir adalah pembantaian etnis muslim Rohingya. Kelompok yang sama juga mencoba memanfaatkan isu Rohingya sebagai bukti bahwa yang namanya minoritas dimanapun akan mengalami diskriminasi.
Tujuannya cukup jelas. Mereka coba menggunakan tragedi kemanusiaan di Myanmar untuk menembak kelompok-kelompok yang mereka sebut diskriminatif dan intoleran di Indonesia. Lebih jelasnya lagi targetnya adalah umat Islam. Hanya karena preferensi politik yang beda, mereka tega mengabaikan fakta bahwa apa yang terjadi di Myanmar adalah tragedi kemanusiaan yang dikecam di seluruh dunia.
Rohingya bukan sekedar masalah agama, tapi masalah pembantaian etnis yang mengundang kemarahan hampir seluruh pemimpin negara dan pemimpin agama dunia, termasuk Paus Fransiskus dan Dalai lama. Agak aneh kalau kemudian dihubung-hubungkan dengan isu minoritas di Indonesia.
Isu Rohingya juga dinilai telah digoreng untuk mendiskreditkan pemerintahan Jokowi. Tragedi kemanusiaan itu di Indonesia diredusir hanya menjadi masalah sederhana, power game antara pendukung dan penentang Jokowi.
Benar ada yang mencoba memanfaatkan momen ini untuk mendiskreditkan Jokowi. Mereka langsung menghajar habis ketika Jokowi –yang entah mendapat data dari mana– mengklaim bantuan kemanusiaan warga, sebagai bantuan pemerintah.
Tapi fakta itu hendaknya tidak mengaburkan fakta lain, bahwa penderitaan Rohingya adalah isu dunia. Isu yang harus disikapi secara cepat dan tegas oleh Jokowi.
Selain jokowi korban goreng menggoreng isu Rohingya adalah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Jumat (8/9) Aher memimpin aksi solidaritas Rohingya di Bandung. Kebetulan poster-poster yang dibuat secara redaksi ada yang salah.
Maksudnya membuat poster dalam bahasa Inggris supaya keren dan pesannya sampai ke dunia internasional. Mungkin karena keterbatasan luas poster, atau keterbatasan kemampuan bahasa Inggris, yang tertulis adalah “Stop Humanity.” Ha…ha…ha… apanya yang distop Kang?!
Jadilah foto-foto Aher dengan background poster “Stop Humanity,” viral, menyebar kemana-mana, dijadikan meme dan dibully habis. Poster yang dipegang oleh Aher “Lets Help Rohingya,” jadi tidak penting.
Perundungan terhadap Aher tidak berhenti hanya sampai disitu. Di sebuah status facebook ada sebuah tulisan yang membandingkan Sungai Citarum dengan Rohingya. Tulisan ini kemudian menyebar dengan cepat, apalagi dibumbui dengan kalimat seolah ditulis oleh Sam Bimbo. Pesannya “ngapain ngurusin Rohingya, ngurus warga Jabar saja belum beres.”
Aher ditembak, pasti ada kaitannya dengan Pilkada Jabar 2018 dan Pilpres 2019. Politisi PKS ini pada Pilpres 2014 menjadi ketua tim sukses pasangan Prabowo-Hatta di Jabar. Dia sukses membawa pasangan Prabowo-Hatta menang telak di Jabar.
Sebagai gubernur selama dua periode Aher sukses meraih ratusan penghargaan, salah satunya yang baru saja diterima dari Depdagri adalah Pemprov dengan kinerja terbaik 2017. Aher merupakan salah satu kandidat potensial. Jadi harus “dibunuh” lebih awal.
Tembak menembak, bunuh membunuh karakter, bully mem-bully dipastikan akan makin keras dengan kian mendekatnya Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Nalar dan akal sehat bakal tumpul, seiring pertentangan antar kandidat.
Selain soal Jokowi, urusannya sebenarnya tidak jauh-jauh buntut dari kalahnya Ahok pada Pilkada DKI 2017. Ini merupakan satu paket. Ahok adalah pemimpin masa depan yang mereka siapkan.
Para cukong dan pendukung, ternyata memang belum bisa move on. Mereka siap-siap melancarkan serangan balasan.
Melihat berbagai percakapan di medsos dan sesekali muncul di media arus utama, upaya branding, penokohan dan menjadikan Ahok sebagai pahlawan sudah mulai berjalan. Partai politik sebagai sekoci tampaknya juga sudah disiapkan.
Coba perhatikan partai apa yang paling banyak merekrut caleg publik figur yang dikenal sebagai Ahoker. Jadi tinggal menunggu waktu Ahok dibebaskan, semuanya sudah rapih dan siap take off.
Ahok dijatuhi vonis dua tahun penjara dan langsung masuk tahanan pada 8 Mei 2017. Kalau hitungan normal dia baru akan keluar pada Mei 2019. Namun dengan remisi, potongan, bonus dan lain-lain, maka paling lambat pada pertengahan tahun, atau bahkan awal 2018, dia sudah bisa menghirup udara segar di luar penjara dan menjalani proses asimilasi.
Bila Ahok tergoda kembali untuk terjun ke politik, bersiap-siaplah menghadapi kegaduhan baru. Kelompok pendukung Ahok dipastikan membawa agenda dan jargon yang tidak jauh-jauh dari isu hak minoritas, intoleransi, kebhinekaan dan senjata pamungkasnya “pilih pemimpin muslim korup, atau pilih pemimpin kafir tapi tidak korup.” Sementara kelompok Islam akan membalasnya jargon “pilih pemimpin muslim, tolak pemimpin kafir.”
Media massa dan media sosial akan kembali dipenuhi dengan udara kebencian, caci maki, fitnah, kabar bohong dan kedengkian. Karena itu sejak sekarang kita pantas bertanya “masih waraskah bangsa kita?”
*Penulis adalah Analis Media dan Politik
TAGS : Opini Hersubeno Arief
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/21750/Masih-Waraskah-Bangsa-Kita/