Memahami Child Grooming, Bikin Anak Nyaman Bercerita ke Orang Tua

Akhir-akhir ini, kasus kejahatan seksual terhadap anak membuat hati terkoyak. Mendengar usia anak yang masih di bawah umur semakin mengiris hati. Miris sekali. Parents perlu memberikan tameng kepada buah hati agar terhindar dari kejahatan seksual atau child grooming.

CHILD grooming ini ternyata bukan hal baru. Masih ingat kasus Baekuni alias Babe pada 2010? Atau insiden yang mencoreng wajah dunia pendidikan tujuh tahun lalu. Yaitu, kasus pelecehan murid di sekolah berbasis internasional di Jakarta. Dengan mencuatnya kasus-kasus tersebut, jelas tidak ada celah untuk menutup mata serta abai bagi mommy and daddy.

Psikolog anak Twinky mengatakan, pelaku child grooming akan mengemas aksi kejahatannya dengan apik. Pelaku memunculkan sifat atau karakter yang penyayang, pemberi kasih, dan bak angel. Karena itu, anak berpikiran bahwa pelaku adalah primadona. Sebelum menjalankan aksinya, pelaku melakukan beberapa hal.

Pertama, pelaku menyeleksi korban mana yang akan disasar. Tidak semua korban masuk daftar target pelaku. Korban dipilih berdasar daya tarik fisik yang dirasakan pelaku. Lalu, akses hingga kerentanan yang bakal muncul. Anak yang ditinggal orang tua karena selalu sibuk menjadi salah satu target pelaku. Sebab, akses yang mudah bagi pelaku menggaet korban. Serem nggak, Bunda?

Kedua, akses. Setelah tahu targetnya siapa, pelaku menyusun strategi untuk mendapatkan akses masuk ke korban. Apa saja akan dilakukan pelaku. Misalnya, menawarkan diri untuk menjaga korban ketika parents pergi keluar. Ketiga, membangun kepercayaan dan emosi dengan korban. Korban dininabobokan oleh rasa kepercayaan pelaku. Perhatian yang lebih dicurahkan pelaku.

Kemudian, tahapan terakhir ialah silenting. Pada tahap itu, pelaku sudah melakukan kejahatan dan meminta korban merahasiakan perbuatannya. Pelaku berupaya meyakinkan bahwa yang dialami korban harus dirahasiakan. Tidak ada yang boleh tahu. Tidak terkecuali orang tua. Tak jarang, pelaku mengancam. Tujuannya, rasa takut muncul dan membuat anak takut mengadu.

Twinky mengungkapkan, biasanya anak yang menjadi korban masih berusia dini. Bukan remaja. Artinya, potensi anak untuk melawan balik dengan memukul sangat minim. Namun, ada tameng sebagai pertolongan yang bisa digunakan anak, lho. ”Pertolongan pertama, anak mungkin harus berteriak atau pergi. Tapi, harus dikasih tahu kalau sudah pergi, langsung cerita ke mama atau papa,” jelasnya.


Credit: Source link