Nur Faizin
Oleh: Nur Faizin*
Suatu ketika seorang Madura ditanya “apa agamamu?” Ia menjawab “NU.” Anekdot ini cukup populer. Lebih-lebih setelah diviralkan Gus Dur semasa hidupnya. Masak iya agama orang Madura NU? Tentu orang Madura tidak benar-benar menjawab NU sebagai agamanya. Apa yang tersirat dapat menjadi pemantik kita bahwa NU sebagai organisasi keagamaan Islam telah mendarah daging di lingkungan masyarakat Madura.
Sebagai bahan refleksi hari lahir NU ke-95 yang bertepatan tanggal 16 Rajab 1439 Hijriyah saya mencoba mengajak warga NU, khususnya warga NU di Madura, untuk melakukan refleksi bersama bagaimana masa depan NU di masa mendatang. Mengapa Madura? Saya beranggapan Madura sebagai salah satu wilayah pertahanan NU. Hampir seluruh penduduk asli Madura berkhidmat ke NU. Di Sumenep misalnya, hampir setiap minggu digelar PKPNU (Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama) sebagai pemompa militansi kader.
Sejak berdirinya, NU tumbuh subur di Madura. Di awal-awal kemerdekaan NU dideklrasikan sebagai ulama Madura. Kerekatan emosional terhadap pendiri dan pioner NU samacam Syaikh KH. Muhammad Khalil bin Abdul Latif Bangkalan atau disapa Mbah Kholil misalnya, menjadi pondasi kuat berdirinya NU di tanah garam. Hal ini tak mengherankan sebab mayoritas Kiai pendiri NU di Madura pernah menimba ilmu ke mbah Kholil.
Selain rekatan emosional, kemudahan berdirinya NU di Madura sejatinya telah tumbuh dari amalan-amalan Islam khas pesantren. Embrio NU tumbuh dari amaliyah islamiyah atau amalan-amalan Islam yang khas NU; ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Nalar aswaja ini, meminjam bahasa Maulana Syaikh Ali Jum’ah, lebih banyak dianut umat Islam di seluruh dunia sepanjang masa dengan empat madzhab populer Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Syaikh Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir, menyampaikan bahwa golongan aswaja ini sampai kapanpun dianut oleh mayoritas al-‘ammah atau al-jumhur umat Islam. Pendapat ini disampaikan pada pembukaan Muktamar Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya (25/8/16).
Tantangan NU di Madura
Sepanjang sejarah berdirinya, NU mengalami pelbagai tantangan. Mulai dari meng-counter paham Wahabi hingga mempertahankan kemerdekaan melawan serdadu Inggris di Surabaya. Peristiwa gerilya ini kemudian dikenal Maklumat Resolusi Jihad. Pada peristiwa ini orang-orang NU di Madura juga ikut terlibat di dalam Laskah Hizbullah. Bahkan dalam satu riwayat menyebut bahwa santri yang membunuh Brigjen AWS Mallaby dengan bom bunuh diri berasal dari Bangkalan.
Dari sudut pandang akidah, berdirinya NU di Madura juga tidak lepas dari aspek isu internasional. Paham Wahabi yang sudah menguasai Kerajaan Arab Saudi saat itu meringsek ke Indonesia hingga Madura. Untuk membendung paham ini mengakar di tengah-tengah masyarakat NU kemudian mengambil peran signifikan.
Secara umum dalam menegakkan Islam ala minhaj ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah, orang-orang NU berpedoman pada karakter tawassuth (sikap di tengah-tengah), tawazun (seimbang), i`tidal (lurus), dan tasamuh (toleran). Empat karakter ini menjadi landasan bersikap.
Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa secara implisit karakter tersebut sebagian besar dimiliki orang-orang Madura. Hal ini dapat kita amati ketika ada sanak kerabat yang meninggal dunia digelar tahlilan 7 hari hingga seribu hari. Jumlah tamu yang hadir biasanya lebih hingga 100 orang. Jika yang bersangkutan tokoh masyarakat akan lebih banyak lagi. Melalui cara ini ikatan sosial warga terbangun dan terbentuk. Meminjam istilah Coser, relasi ini membentuk semacam sefety velve atau katup penyelamat dari adanya kemungkinan konflik sosial. Dari sinilah kemudian keseimbangan dan toleransi dalam beragama dan bermasyarakat tercipta di lingkungan Madura.
Ikatan toleransi dan keseimbangan yang mengikat di Madura ini tentu tak selamanya kuat jika seluruh elemen tidak bergandengan tangan membela NU dan merawat kebangsaan dalam bingkai NKRI. Apalagi kini tantangan ke depan semakin besar. Benar tidak berupa peperangan fisik, tetapi tantangan di masa mendatang ini secara masif dan halus menyasar ke pelbagai lapisan masyarakat melalui pelbagai cara.
Seiring perkembangan zaman, tantangan NU khususnya di Madura tidak lagi penjajahan secara verbal melalui indoktrinasi paham Wahabi dan berperang melawan Inggris. Secara sederhana, mengutip pendapat Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin (2017), ada tiga tantangan besar yang secara umum harus dihadapi dan diselesaikan NU. Ketiga tantangan besar tersebut diantaranya; gerakan radikalisme dan intoleran yang semakin masif di Indonesia, kesenjangan ekonomi, dan masalah korupsi. Ketiga tantangan ini juga berlaku di Madura. NU beserta seluruh banomnya seyogianya merapatkan barisan dalam meng-counter-nya.
Menjawab tantangan tersebut warga NU khususnya di Madura seyogianya merapatkan barisan. Dalam konteks ke-Madura-an warga nahdliyin dapat membela NU dan merawat NKRI melalui rekatan-rekatan sosial yang ada. Tidak hanya itu, simpul-simpul yang berada di kampung-kampung, meminjam bahasa KH. Mas Mansur, harus bangkit dan menggerakkan (an-nahdhah). Bangkit merawat barisan harakah an-nahdliyah, menggerakkan masyarakat agar mandiri, bangkit dan merawat kerekatan emosional warga dalam mempertahankan tanahnya dari kongmelarasi, dan turun gunung dengan lebih memperbanyak rekatan sosial baik melalui pengajian dan semacamnya.
Terutama persoalan tanah, warga NU harus dilindungi dari masuknya infestor gelap sehingga dapat mempengaruhi identitas masyarakat. Insya Allah dengan rekatan-rekatan ini NU di Madura hingga kapapun akan tetap terjaga dan menebar manfaat bagi seluruh umat.
*Alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta dan Asisten Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja RI. Kini aktif di PP GP Ansor dan Korwil Madura Densus 26.
TAGS : Opini NU di Madura
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/31972/Menakar-Masa-Depan-NU-di-Madura/