Sejumlah negara di dunia bahkan sudah mulai menguatkan komitmennya untuk meninggalkan mobil dengan mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE). Sebut saja Norwegia yang menargetkan pada 2025, Inggris di tahun 2030, dan Prancis pada 2040.
Di Asia, komitmen ini juga muncul di sejumlah negara. Mengutip data The Climate Center, India, Taiwan, dan Korea Selatan sudah mengumumkan target peralihan ke mobil listrik. Di Asia Tenggara, Singapura ingin mengharamkan mobil diesel dan bensin pada 2040.
Baca juga: Daimler berencana lepas divisi truk demi fokus pada mobil listrik
Baca juga: Ford hentikan kemitraan mobil listrik dengan Zotye
Hal ini kemudian menggugah pertanyaan, seberapa efektif langkah ini untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik, terutama di kawasan Asia Tenggara, mengingat jumlah penduduknya yang cukup padat dan didominasi negara-negara berkembang.
“Apakah pemerintah di negara ASEAN perlu melakukan hal yang sama? Jawabannya tergantung dari kondisi pasar tiap negara. Di ASEAN masih ada banyak tantangan,” kata Ahli Senior bidang Ekonomi Industri Kementerian Perindustrian Thailand, Dusit Anantarak dalam forum Nissan FUTURE, yang dihelat daring.
“Idealnya, diperlukan produksi sebesar 3,2 juta unit per tahun (di Asia Tenggara) agar bebas emisi dan menunjukan mobilitas kendaraan listrik,” ujarnya menambahkan.
Anantarak tak mengelak bahwa salah satu cara yang bisa mengakselerasi adopsi kendaraan listrik di sebuah negara adalah dengan insentif yang diberikan pemerintah setempat.
Peran penting pemerintah agar adopsi kendaraan listrik meningkat adalah menciptakan permintaan dalam berbagai langkah. Insentif pajak adalah salah satu dukungan finansial kepada masyarakat untuk beralih ke kendaraan ramah lingkungan ini.
Sependapat dengan Anantarak, President of Asian Federation of Electric Vehicle Assosiation, Edmund Araga, mengatakan bahwa baik produsen maupun konsumen menginginkan insentif menarik dari pemerintah, baik fiskal dan nonfiskal.
Pemerintah Indonesia sebelumnya telah membulatkan tekad untuk menjadi pemain utama di sektor ini, demi mewujudkan target tahun 2025 penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mencapai 23 persen.
Pengamat otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.
Namun, sama seperti negara-negara lain, insentif dan dukungan pemerintah merupakan kunci utama untuk mempercepat penetrasi kendaraan listrik di Indonesia. Ini tak lain adalah demi membuat kendaraan ini lebih terjangkau bagi masyarakat.
“Dukungan pemerintah yang sangat prinsip adalah membuat masyarakat yang tertarik pada kendaraan listrik mampu untuk memilikinya. Tanpa menjadikan harga kendaraan listrik terjangkau, maka sulit untuk memasyarakatkannya,” kata Yannes saat dihubungi ANTARA.
Tanpa adanya insentif atau semacam bonus yang jelas kongkrit, terukur, dan menjadikan kendaraan listrik ini semakin murah dan terjangkau dari pemerintah, program memasyarakatkan kendaraan listrik ini akan tidak mudah dilakukan.
“Jika itu terjadi, kendaraan mobil listrik akan tetap terlalu mahal untuk dikonsumsi mayoritas pasar di Indonesia. Kendaraan listrik akan hanya menjadi koleksi kelompok masyarakat yang berpenghasilan kuat saja,” kata Yannes.
Baca juga: Kawasan ASEAN berpeluang tinggi adopsi mobil listrik, ini faktornya
Baca juga: Lexus goda pelanggan dengan sebuah gambar teaser dari EV mereka
Upaya
Di Indonesia sendiri, berbagai kementerian terkait bekerja sama untuk mengakselerasi kendaraan ramah lingkungan ini. Baru-baru ini, diumumkan bahwa pemerintah akan membebaskan mobil listrik dari PPnBM atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada 2021 ini.
“Sudah ada regulasinya yang akan berlaku akhir tahun ini. PPnBM untuk mobil listrik nol persen,” kata Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi Septian Hario Seto, pada Jumat (5/2/2021).
PPnBM mobil listrik nol persen ini pun rencananya berlaku pada Oktober atau November 2021. PnBM mobil sebesar 10-125 persen tergantung model, jenis, dan jumlah penumpang.
Pengenaan PPnBM mobil diatur dalam PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PMK/PMK.010/2017, serta PP Nomor 22 Tahun 2014 tentang Perubahan PP Nomor 41 Tahun 2013.
Jika dilihat dari sudut pandang perindustrian, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian RI Taufiek Bawazier berpendapat bahwa insentif dari pemerintah diberikan agar bisa mengurangi harga kendaraan bertenaga listrik.
Insentif tersebut dapat dibagi menjadi dua jenis yakni insentif buat pengguna dan insentif bagi produsen.
Selain PPnBM, insentif bagi pengguna antara lain uang muka minimum sebesar 0 persen untuk KBL-BB yang berlaku efektif 1 Oktober 2020 (Peraturan BI No. 22/2020), hingga gratis tambah daya listrik untuk pemilik mobil listrik dan diskon sebesar 75 oersen untuk pemilik sepeda motor listrik.
Tak hanya sederet insentif dan penawaran menarik, pemerintah juga menyiapkan infrastruktur penunjang seperti Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) yang sudah terpasang dan beroperasi di seluruh Indonesia sebanyak 7.149 unit di 3.348 lokasi.
Sementara, jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang sudah terpasang di Jakarta, Bandung, Tangerang, Semarang, Surabaya, dan Bali sebanyak 62 unit di 37 lokasi.
Kementerian ESDM pun telah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai yang memuat Kebijakan Roadmap SPKLU hingga tahun 2024.
Seberapa efektif?
Meski serangkaian insentif tersebut ditujukan untuk mempercepat adopsi mobil listrik, hal tersebut tidak akan serta merta mendorong penggunaan kendaraan atau mobil listrik secara signifikan di masyarakat.
Ini karena kondisi wilayah Indonesia yang luas dan berupa kepulauan. Belum lagi jika dibandingkan dengan insentif untuk kendaraan konvensional dan mobil hibrida.
Penetrasi mobil listrik juga dipengaruhi transisi dari mobil bensin dan pembangunan infrastruktur kendaraan listrik di negara seluas Indonesia yang akan membutuhkan waktu.
Menurut pengamat otomotif Yannes Pasaribu, pemerintah nantinya juga perlu menegaskan apa saja keuntungan dan nilai tambah yang akan didapat oleh masyarakat yang kelak membeli kendaraan listrik.
Hal ini mengingat semua pengguna harus melakukan proses adaptasi yang tidak gampang, yakni mengubah budaya mengisi energi yang selama ini mereka lakukan dan mengubah pola berkendaraannya yang harus semakin lebih diperhitungkan.
“Kebijakan pemerintah untuk terus mendukung proses manufaktur hingga penyebaran penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri harus tetap terjaga dalam trek yang jernih,” kata Yannes.
“Dan, semua rangkaian proses kebijakan yang kini sedang bergulir perlu tetap dikawal agar dapat menjadi portofolio kebijakan yang semakin holistik dan sistem pasar dalam negeri yang semakin kondusif untuk ekosistem kendaraan listrik,” imbuhnya.
Jika harus menengok ke sejumlah negara yang sudah mulai menggunakan kendaraan listrik sebagai moda transportasi yang semakin awam, hal yang menjadi pegangan adalah adanya motivasi jelas dari pembuat kebijakan — yang tak hanya mengenalkan dan akhirnya digunakan masyarakat, namun juga membuka kesempatan dan peluang baru — mengingat Indonesia memiliki begitu banyak potensi untuk memproduksi kendaraan listrik sendiri dan bersaing dengan pemain besar lainnya.
Baca juga: Nissan berkomitmen buat mobilitas EV aksesibel di ASEAN
Baca juga: Penjualan mobil ramah lingkungan di Eropa lebih dari 1 juta unit
Baca juga: Ford kucurkan Rp400 triliun untuk kuasai pasar mobil listrik
Pewarta: A087
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021
Credit: Source link