’’Sweet banget mereka berdua di film, cocok nih kalau jadian beneran’’.
Hanyut dalam peran yang dimainkan idolanya sampai-sampai merasa ’’berhak” menjodohkan mereka. Terus kecewa, bahkan marah kalau harapannya nggak terwujud. Banyak di antara para shipper itu yang kelewat batas. Gimana mengontrol diri supaya tidak menjadi shipper yang halu?
MENGAGUMI akting atau karakter yang diperankan aktor dan aktris favorit tentu hal yang lumrah. Atau ketika ada dua penyanyi yang berduet membawakan lagu dengan chemistry yang kuat. Hal manis yang mereka tampilkan itu tak jarang bikin penonton senyum-senyum sendiri. Lantas berpikir, betapa manisnya kalau mereka berpasangan di dunia nyata.
Fenomena shipping tersebut jika diamati ada sejak lama. Namun, makin ’’menggila” di era media sosial. Sebab, para penggemar itu dengan leluasa meluapkan isi hati mereka di unggahan atau kolom komentar yang lalu didukung barisan netizen lain yang punya pendapat sama.
Kenapa bisa terjadi?
Rendahnya kemampuan untuk berpikir kritis dan etis. Yang saya amati, mayoritas generasi Z (meski tentu tidak semuanya) kehilangan pola asuh, aturan, dan kesadaran etika. Dalam case ini, mereka tidak bisa membedakan apa yang tersaji on-screen dengan kehidupan nyata (off-screen). Itulah yang membuat mereka (para shipper kebablasan) bisa dengan mudahnya menulis hate comment untuk orang yang dianggap tidak cocok menjadi pasangan idolanya. Bahkan, ada yang meminta aktor idolanya menceraikan istrinya dan menikahi pasangannya di sinetron. Ini kan nggak masuk akal.
Idealnya bagaimana?
Sadari dan pisahkan antara role atau peran dengan kehidupan nyata. ’’Saya mengagumi karyanya, personanya’’. Misalnya, ’’Chemistry mereka di sinetron itu sangat kuat’’. Cukup, berhenti di situ.
• Respek
Berinteraksi dan berkomunikasi, termasuk di dalamnya mengungkapkan pendapat serta menulis komentar, harus dengan respek yang tinggi. Ada batasan-batasan yang harus dijaga. Ketika sudah masuk ke private area, itu tidak etis.
Credit: Source link