JawaPos.com – Polemik investasi Telkomsel di GoTo dinilai bernuansa politis. Padahal kebijakan dari Telkomsel berinvestasi di GoTo dapat dikatakan hanya keputusan bisnis biasa yang dilakukan sebuah perusahaan digital.
Ekonom INDEF Nailul Huda menilai kegaduhan yang terjadi pada investasi Telkomsel di GoTo lebih banyak nuansa politik dibandingkan bisnis. Hingga saat ini belum ditemukan bukti yang jelas kaitan benturan kepentingan investasi Telkomsel di GoTo.
“Benturan kepentingan memiliki spektrum yang sangat luas. Tidak hanya sekadar dari keterikatan hubungan keluarga atau dekat dengan siapa,” ujar Nailul kepada wartawan, Selasa (14/6).
Dia melihat perusahaan pelat merah yang berinvestasi di GoTo tak hanya GoTo semata. Ada perusahaan swasta nasional dan ventur capital multinasional.
“Sejatinya kegaduhan dalam investasi Telkomsel di GoTo lebih banyak memiliki tujuan untuk menggoyang management Telkom,” pendapat Nailul.
Dia melihat Telkom dan Telkomsel sama dengan perusahaan telekomunikasi lainnya. Sama-sama punya kepentingan berinvestasi di perusahaan digital. Sebab, bisnis perusahaan telekomunikasi saat ini berkaitan erat dengan ekonomi digital. “Mereka saling melengkapi,”ungkap Nailul.
Apalagi potensi ekonomi digital di Indonesia sangat besar. Hal itu dapat dilihat dari tingginya minat investor untuk masuk ke sektor digital nasional. Bahkan SingTel Group juga tengah masuk ke bank digital di Indonesia.
Untuk itu, Nailul menyarankan, supaya kegaduhan investasi BUMN di perusahaan digital tidak terjadi lagi, maka perlu adanya peningkatan literasi masyarakat terhadap pasar modal dan pencatatan laporan keuangan. Saat ini edukasi masyarakat terhadap pasar modal dan pencatatan laporan keuangan masih kurang.
Memang ada beberapa pihak yang sudah menjelaskan mengenai pasar modal dan PSAK. Namun, penjelasannya belum mendalam dan masih tendensius ke arah politik dengan mengarahkan ke faktor benturan kepentingan.
Faktor benturan kepentingan yang memiliki hubungan keluarga perlu dibuktikan. Jika benturan kepentingan dikaitkan dengan potensi lost, hal itu tidak tepat.
Nailul meminta agar OJK memperkuat aturan mengenai business judgment rule. Aturan yang ada saat ini masih terlalu umum dan multitafsir.
“Jangan sampai kegaduhan ini membuat perusahaan BUMN enggan untuk investasi di start up nasional. Untuk memperbesar ekonomi digital perlu dukungan semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat, dan perusahaan BUMN,” pungkas Nailul.
Credit: Source link