SINGARAJA, BALIPOST.com – Undang-undang (UU) Cipta Kerja mendapat penolakan dari berbagai elemen. Demonstrasi yang berujung rusuh pun terjadi di sejumlah daerah.
Namun di Buleleng penolakan dilakukan dengan cara lebih santun. Sejumlah ketua dan pengurus organsiasi kemahasiswaan bertemu DPRD Buleleng, Jumat (9/10). Pada pertemuan itu, mahasiswa menyerahkan pernyataan sikap berisi 7 poin untuk ditindaklanjuti oleh DPR-RI dan Pemerintah Pusat.
Kordinator mahasiswa, Bayu Angkasa Putra yang juga Ketua Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) Cabang Singaraja mengatakan, dialog dengan DPRD Buleleng dipilih karena pihkanya ingin menunjukkan diri sebagai kaum intelektual. Tidak harus turun ke jalan ketika akan menyuarakan aspirasi kepada pemerintah.
Apalagi, saat darurat kesehatan karena pandemi Virus Corona (COVID-19), sehingga ruang diskusi lebih elegan dilakukan dan mencegah terjadinya klaster penularan Virus Corona. Saat dialog dengan DPRD, Banyu menyerahkan pernyataan berisi 7 poin.
Pertama, menolak UU Citpa Kerja yang disahkan DPR-RI dan Pemerintah Pusat karena dianggap tidak melibatkan partisipasi publik dan mencederai prinsip Demokrasi. Kedua, DPR-RI gagal menjalankan fungsi sebagai representasi rakyat dan menyuarakan aspirasi serta suara rakyat.
Poin ketiga, pengesahan UU Citpa Kerja telah menganggu stabilitas Nasional. Keempat, kegaduhan akibat pengesahan UU Cipta Kerja tidak sejalan komitmen pemerintah dalam usaha pemulihan nasional akibat COVID-19.
Kelima, UU Cita Kerja dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, dan bukan hanya berpotensi meresahkan tapi harus digagalkan karena bertentangan Pancasila Sila ke-5 dan Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4. Poin enam, mendorong dan mendukung akademisi dan koalisi masyarakat sipil untuk mengajukan Judial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Sedangkann poin tujuh, mendorong dan mendesak Pemerintah Pusat menerbitkan Perppu untuk pembatalan UU Citpa Kerja yang telah disahkan. “Itu 7 poin aspirasi yang kami sampaikan kepada DPRD Buleleng dan sudah diterima dengan baik untuk diperjuangkan,” katanya.
Di sisi lain Bayu menyebut, ada beberapa klausul pasal yang dinilai merugikan kaum buruh dan pekerja. Dia mencontohkan, pada Pasal 156 yang mengatur terkait pengantian upah kepada pekerja yang di-PHK.
Pada UU Ketenagakerjaan pengantian upah PHK ini diatur dengan kewajiban perusahaan membayar upah akibat PHK dengan nilai batasan minimal. Sebaliknya dalam UU Cipta Kerja pembayaran upah PHK ini diatur dengan batasan nilai maksimal.
Kalau aturan ini diterapkan, akan menimbulkan kerugian bagi buruh dan pekerja itu sendiri. Selain itu, aturan ini memberi ruang dan kemudahan bagi pemangku kepentingan dan perusahaan untuk memanfaatkan UU ini.
Menganggapi aspirasi itu, Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna berjanji akan menindaklanjuti aspirasi mahasiswa itu melalui lembaga yang berwenang. Terkait alasan penolakan mahasiswa atas pengesahan UU Cipta Kerja ini, Supriatna mengaku mendukung, karena ada isu yang perlu pembahasan detail bersama para pihak terkait. (Mudiarta/balipost)
Credit: Source link