Ilustrasi Air (foto: CGTN)
Jakarta, Jurnas.com – Sejumlah pakar menilai, upaya penguasaan negara atas air bukan berarti negara juga harus ikut mengelolanya dalam artian berbisnis air. Hal itu sebagai kajian dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Dalam keputusannya MK menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) harus dikuasai negara.
Pernyataan para pakar tersebut tersaji dalam acara diskusi Pakar dengan judul “Menafsirkan Hak Penguasaan Negara Dalam Sektor Air”, Kamis (02/05) lalu di Hotel Atlet Century Park, Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG).
Dalam forum tersebut, para peserta sepakat membentuk Forum Ahli Tata Kelola Air yang bersifat inter dan multi disiplin untuk mengawal perbaikan tata kelola air di Indonesia.
Hadir dalam diskusi tersebut beberapa ahli sumber daya air dari berbagai disiplin ilmu yaitu Dosen FH UIKA-Bogor Dr. Mohamad Mova Al’Afghani, Dr. Rikardo Simarmata (FH UGM), Pakar Pertambangan ITB Dr. Irwan Iskandar, Khopiatuziadah dari Pusat Perancangan Undang Undang, Badan Keahlian DPR, Dr Firdaus Ali dari Indonesia Water Institute, Dr Amiruddin A Dajaan (FH UNPAD).
Dosen FH UIKA-Bogor Mohamad Mova Al’Afghani menyebutkan enam Prinsip Dasar MK yang menjadi dasar penyusunan RUU SDA, yaitu: Pertama, setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Ketiga, harus mengingat kelestarian lingkungan hidup. Keempat, maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak.
“Kelima, Sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah,” katanya.
“Keenam, apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat,” tambahnya.
Terdapat beberapa permasalahan tafsiran atas Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, yaitu soal definisi swasta dan pengusahaan, soal pentingnya penekanan pada kualitas ekologis air dan soal sejauh mana swasta bisa terlibat dalam pelayanan air minum dan air limbah.
Rikardo Simarmata (FH UGM) mengutarakan, dalam menafsirkan Hak Menguasai Negara terdapat dua sumber, yakni pertama, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan kedua, beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjabarkan Hak Menguasai Negara kedalam kebijakan (beleid), pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuurdaad), pengelolaan langsung (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad).
Sementara, pakar Pertambangan ITB Dr. Irwan Iskandar mengungkapkan, air dalam segala bentuknya sebaiknya diatur oleh satu badan tersendiri. Sementara saat ini air masih diurusi oleh beberapa kementerian di Indonesia, air permukaan oleh PU sedangkan air tanah oleh ESDM. “Pengurasan air dalam pertambangan pun seharusnya masuk kedalam rezim Sumber Daya Air,” tuturnya.
Khopiatuziadah dari Pusat Perancangan Undang Undang, Badan Keahlian DPR mengungkapkan bahwasanya dalam proses penyusunan RUU SDA, keenam Prinsip Dasar Pengelolaan Air dari MK ditekankan dalam proses pembahasan RUU SDA karena ada kekhawatiran akan di Judicial Review kembali. “jadi dari awal, Putusan MK dan 6 Pembatasan dan mandat tadi itulah yang mengikat konteks penyusunannya” jelas Khopiatuziadah.
Dr Firdaus Ali dari Indonesia Water Institute mengatakan “Memang benar baik DPR maupun Pemerintah dalam membuat undang-undang harus mengacu kepada amar putusan MK. Jangan sampai kita membuat Undang-Undang kemudian saat di challenge akan mentah lagi. Walau dari awal saya sudah mengingatkan agar tidak terpaku pada putusan MK namun yang penting bagaimana agar resources ini diatur oleh negara, untuk bisa menjawab tantangan yang ada saat ini dan kedepan. Saya dari awal lebih senang Undang-Undang Air (Water Act) bukan Undang-Undang Sumber Daya Air, karena kalau “sumber daya” terlalu mengecilkan esensi daripada air, tapi ya ini merupakan kesepakatan pemerintah dan parlemen ya silahkan saja” jelas Firdaus Ali
Para peserta menyepakati bahwasanya pembatasan kelima dan keenam dalam Putusan MK yang membatalkan UU SDA 7/2004 masih harus dikaji secara kritis dan dilihat keterhubungannya dengan konsep Hak Menguasai Negara serta Hak Asasi Manusia atas Air.
Seluruh peserta yang hadir bersepakat untuk membentuk Forum Ahli Tata Kelola Air yang bersifat inter dan multi disiplin untuk mengawal perbaikan tata kelola air di Indonesia.
TAGS : Tata Kelola Air Pakar
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/52219/Pakar-Perbaikan-Tata-Kelola-Air-Harus-Terus-Dikawal/