JawaPos.com – Rizky Billar sudah meninggalkan rumah tahanan Polres Metro Jakarta Selatan setelah penangguhan penahannya dikabulkan penyidik. Dia sudah pulang ke rumah setelah sempat mencicipi masa penahanan.
Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Ade Ary menyatakan, penangguhan penahanan Rizky Billar dikabulkan dengan sejumlah alasan objektif dan subjektif penyidik yang sempat menjadi kekhawatiran diyakini tidak akan terjadi. Salah satunya, penyidik memiliki keyakinan Billar tidak akan melakukan KDRT lagi terhadap Lesti Kejora mengacu pada hasil asesmen yang telah dilakukan.
Namun, untuk restorative justice belum berhasil terwujud dalam kasus KDRT tersangka Rizky Billar. Penyebabnya, ada persyaratan formil dan meteriil yang belum terpenuhi. Kapolres dalam kesempatan itu menyatakan pemberkasan kasusnya dipastikan akan berjalan bersamaan dengan proses restorative justice.
“Proses penyidikannya masih berlangsung, di samping proses restorative justice juga masih berlangsung,” kata Ade Ary di hadapan awak media.
Dalam kasus KDRT dengan tersangka Rizky Billar, pasal yang dikenakan adalah Pasal 44 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang menilai, masih ada kemungkinan kasus KDRT yang menjerat Rizky Billar bakal dilanjutkan oleh penyidik meski telah dilakukan restorative justice. Sebab, Pasal 44 Ayat (1) yang dikenakan pada sang aktor merupakan delik biasa.
“Iya (ada kemungkinan kasus berlanjut). Tapi, kita tunggu bagaimana sikap kepolisian. Pasal 44 Ayat 4 itu delik aduan, tapi pasal 44 ayat 1 sampai 3 delik biasa,” kata Veryanto Sitohang kepada JawaPos.com, Sabtu (15/10).
Menyampaikan hal tersebut, dia pun merujuk pada Pasal 52. Dia juga mengatakan, kasus KDRT bisa dikategorikan masuk dalam delik aduan atau delik biasa dapat diukur dari dampak kekerasan yang ditimbulkan pada korban.
“Di UU PKDRT itu ada yang tidak meninggalkan luka, meninggalkan luka, bahkan ada yg sampai mengakibatkan disabilitas,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Pakar Hukum Pidana Agustinus Pohan. Berbincang dengan JawaPos.com, dia memastikan Pasal 44 Ayat (1) merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Dia menyebut delik biasa bisa tetap berjalan meskipun tidak adanya penuntutan dari pihak korban.
“Untuk delik biasa penuntutan dapat atau harus dilakukan ketika penegak hukum mengetahui adanya tindak pidana. Pengetahuan tersebut bisa dikarenakan laporan masyarakat, pengaduan atau laporan korban, atau diketahui sendiri oleh penegak hukum. Sedangkan delik aduan, penuntutan hanya dapat dilakukan dalam hal ada pengaduan dari korban,” paparnya.
Berikut Isi Pasal 44 UU PKDRT:
Pasal 44
Ayat 1
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Ayat 2
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Ayat 3
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Ayat 4
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Credit: Source link