DENPASAR, BALIPOST.com – Dampak pandemi Covid-19, tidak hanya pada faktor kematian. Namun lebih miris lagi pandemi tersebut secara global berdampak pada sektor ekonomi. Di Bali, banyak perusahaan yang gulung tikar, menjual tempat usaha, mengurangi karyawan hingga berujung pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk di antaranya pengurangan upah hingga adanya pemindahan kerja atau mutasi.
Tidak hanya pihak swasta, namun perusahaan plat merah juga ada yang melakukan pengurangan tenaga kerja. Efeknya, mereka yang kehilangan pekerjaan kelimpungan. Ada yang mengadu ke dewan, ke Disnaker, dan ada pula yang menempuh jalur hukum.
Dikonfirmasi Selasa (26/7), Humas Pengadilan PN Denpasar yang membawahi peradilan khusus Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Gede Putra Astawa mengatakan bahwa selama dua tahun, PHI menerima puluhan perkara. Persisnya, pada tahun 2021 terdapat 22 perkara masuk PHI. “Dari 22 yang masuk, semua perkara sudah diputus,” ucap Astawa.
Sementara tahun 2022 ini hingga bulan Juni, terdapat delapan perkara yang masuk ke PHI. “Dua perkara di antaranya sudah putus,” tandas Gede Putra Astawa. Jadi, total selama dua tahun hingga Juni 2022 ada 30 perkara ketenagakerjaan yang masuk PHI.
Dari sisi perkara, sebagaimana yang tertuang dalam SIPP PHI pada Pengadilan Negeri Denpasar, ada lima kategori menonjol dalam selisih paham hubungan industrial. Di antaranya ada perselisihan PHK sepihak, perselisihan hak pekerja karena upah tidak dibayar, PHK tanpa memperhatikan hak pekerja, perselisihan hak pekerja yang sudah diperjanjikan namun tidak dipenuhi perusahaan dan perselisihan kepentingan karena mutasi kerja.
Praktisi Hukum I Kadek Agus Suparman, S.H., M.H., berpendapat bahwa persoalan perselisihan hubungan kerja tidak serta merta harus masuk Pengadilan Hubungan Industrial. Namun ada beberapa tahap yang mesti dilakukan pihak terkait, baik mediasi antara pekerja dengan pihak perusahaan maupun dengan melibatkan lembaga berwenang seperti Disnaker.
“Untukmenemukan win-win solusi sebelum masuk proses pengadilan, sebaiknya dilakukan mediasi,” jelasnya. Lanjut Suparman, salah satu tujuan dibentuknya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja dan mencegah adanya tindakan diskriminasi dari pemberi kerja.
Lanjut dia, memang sangat penting peran PHI dalam proses pemutusan hubungan kerja karena mengatasi tindakan perusahaan untuk tindak bertindak semena-mena dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan Covid-19 salah satunya. “Karena dalam proses hukum sebelum proses ini masuk ke proses gugatan di pengadilan akan dilakukan upaya mediasi yang dilakukan untuk membantu tenaga kerja mendapatkan hak-haknya secara hukum,” ucap Agus Suparman.
Namun jika tidak mendapatkan jalan tengah, guna mendapatkan hak tenagakerja dan hak pihak perusahaan, maka PHI adalah jalan terakhir. (Miasa/balipost)
Credit: Source link