DENPASAR, BALIPOST.com – Merk alas kaki Ni Luh Djelantik sudah mendunia. Ekspor ke sejumlah negara telah dilakukan, bahkan diproduksi bekerjasama dengan merk ternama di negara lain. Pesohor dunia, seperti Julia Roberts juga menggunakan produk Niluh Djelantik di filmnya “Eat, Pray, Love.”
Namun, pandemi COVID-19 juga meluluhlantakkan bisnis yang dirintis oleh Niluh Putu Ary Pertami Djelantik atau akrab disapa Niluh Djelantik sejak 18 tahun silam itu. Perempuan itu pun harus putar otak untuk bertahan di tengah pandemi.
Dalam sebuah webinar yang merupakan kerjasama JNE Express dan Markplus Inc., Senin (1/3), Niluh Djelantik mengungkapkan upaya yang dilakukannya bertahan di tengah pandemi. “Human touch merupakan hal yang utama meski pun sudah menggunakan e-commerce dan promosi lainnya. Human touch ini meliputi pelayanan yang baik,” ujarnya saat ditanya resep untuk bertahan dan menjaga merknya.
Selama hampir 18 tahun menjalankan bisnis ini, ia mengatakan hal tersebut dilakukannya. Selain, berupaya menjaga kualitas produk sehingga pelanggan tetap setia. “In the end of the day you treat people the way you want to be treated (Pada akhirnya, kamu memperlakukan orang sebagaimana kamu ingin diperlakukan, red),” sebutnya.
Human touch ini tak hanya dipraktekkan untuk pelanggannya, tapi juga karyawannya. Ia menyebut karyawannya sebagai “anak-anak” dan dirinya dipanggil “mamak” oleh para karyawan. Ini, menjadikan tidak ada istilah saya bos, dan anda adalah karyawan.
Perlakuannya ini menyebabkan terciptanya rasa memiliki di kalangan karyawan sehingga bekerja dengan tulus ikhlas dan berjuang bersama-sama. “Krisis yang terjadi di luar sana dan badai pandemi, keputusan harus berada pada satu atap itu menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki, red) yang tinggi. Kita clear dan kita memperlakukan satu sama lainnya dengan respect,” tegasnya.
Ia pun mengakui pandemi meluluhlantakkan seluruh kerja kerasnya sebagai pembuat sepatu yang sudah punya nama. Namun, pandemi mengajarkan dirinya untuk beradaptasi dan tidak goyah. “Kami putuskan menutup seluruh store di bulan Maret (2020, red) dengan alasan pelanggan harus aman dan anak-anak (karyawan Niluh, red) harus tetap selamat,” jelasnya.
Ia mengutarakan bahwa dirinya hanya bisa bertahan hingga Juni tapi tetap berusaha mempertahankan karyawannya. Bahkan, karena kasihan pada dirinya, para shoemaker sempat meminta untuk pulang kampung. Tapi tidak diizinkannya.
“Akhirnya kita membuat masker dari kain tenun koleksi pribadi sebanyak 1.000 buah. Saat diposting dan menjadi viral, banyak yang ingin memesan. Tapi kita sempat menolak adanya pesanan yang masuk, karena merasa shoemaker dan bikin masker hanya untuk donasi,” katanya.
Ia mengaku sempat mengalami pergolakan batin karena merasa tidak bidangnya untuk membuat masker sebab selama ini merupakan seorang pembuat sepatu dan telah memiliki brand yang mendunia. Namun, ia akhirnya berpikir untuk merangkul UMKM dan perajin di Bali agar sama-sama bangkit lewat produksi masker.
Saat ini, ia menyebut maskernya telah diekspor ke puluhan negara dan dikirim menggunakan JNE. Bangkitnya brand Niluh Djelantik lewat produk masker ini dengan menggandeng perajin kain tenun dan pelaku UMKM masker di Bali. “Di saat bangkit, kita harus menggandeng tangan-tangan lainnya. Hidup itu indah jika kita berbagi,” pesannya.
Tiga Akses
Soal tantangan UMKM di tengah pandemi, VP of Marketing JNE, Eri Palgunadi mengatakan ada tiga akses yang perlu dimiliki. Yaitu akses informasi, permodalan, dan distribusi. Jika ketiganya bisa dimiliki, ia percaya UMKM akan bisa membawa produknya ke tingkat global. “Sektor UMKM adalah sektor yang paling liat, yang bisa membawa Indonesia menjadi negara yang berkembang. Karena di tahun 1998, UMKM adalah sektor yang paling tidak terdampak oleh krisis moneter. Di tahun 2008 juga begitu,” ujarnya.
UMKM diharapkan bisa menjadi titik balik bagi sektor perekonomian di tengah pandemi dengan menciptakan produk yang tidak hanya terkenal di daerahnya, tapi bisa masuk di kawasan, dan menjadi global. Dengan akses informasi, UMKM bisa menciptakan produk kreatif dan brand dengan value yang berbeda. (Diah Dewi/balipost)
Credit: Source link