Jangan Sampai Konser dan Festival Mati Suri Lagi
Pelonggaran mobilitas menjadi lampu hijau bagi makhluk-makhluk sosial yang selama sekitar dua tahun terakhir terpaksa menjauh dari gegap gempita konser dan pertunjukan. Kini, ada begitu banyak event yang mendatangkan kerumunan. Lantas, wajarkah jika kemeriahan semacam itu sampai memantik kericuhan, bahkan mengancam keselamatan?
—
CROWD safety management. Frasa itu kian akrab di telinga pada semester kedua tahun ini. Tepatnya setelah aparat penegak hukum terpaksa membatalkan beberapa konser atau pertunjukan yang berpotensi ricuh. Tentu saja salah satu penyebabnya adalah banyaknya jumlah massa yang datang dalam acara tersebut. Yang terbaru adalah penghentian paksa konser hari pertama NCT 127 serta pembatalan pergelaran hari ketiga festival musik Berdendang Bergoyang.
Jika dicermati, salah satu penyebab hadirnya massa dalam jumlah superbesar itu adalah tiket. Mengacu protokol kesehatan Covid-19, penyelenggara tidak diperkenankan memaksimalkan kapasitas gedung maupun area pertunjukan outdoor. Karena itu, penjualan tiket pun harus diatur. Tidak bisa ugal-ugalan.
’’Pihak promotor pasti punya aturan soal itu,’’ kata Nuran Wibisono saat berbincang dengan Jawa Pos pada Kamis (3/11).
Penulis yang juga pengamat musik tanah air itu menyatakan bahwa penjualan tiket dan pemahaman soal venue menjadi bagian dari crowd safety management alias manajemen keselamatan kerumunan. Jika itu ditaati, dia yakin tidak akan ada kerumunan berlebih yang rawan memicu desak-desakan dan kericuhan.
Promotor, lanjut Nuran, mengacu standard operating procedure (SOP) yang tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Bahwasanya keamanan dan kenyamanan concert goers atau para penonton menjadi prioritas. ’’Promotor yang benar pasti tidak akan menjual tiket melebihi kapasitas,’’ tegasnya.
Selain soal tiket, promotor yang bertanggung jawab akan selalu memperhatikan soal mitigasi. Minimal, menyediakan dan menginformasikan kepada penonton soal jalur evakuasi jika terjadi kedaruratan. Dengan demikian, dari awal konser maupun pertunjukan, para penonton sudah punya gambaran harus ke arah mana untuk meninggalkan area tersebut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sebenarnya, ada banyak festival musik Indonesia yang sudah menerapkan manajemen keselamatan kerumunan tersebut. Sebut saja Synchronize Fest. Festival musik multigenre tahunan berskala nasional itu selalu ramai pengunjung. Namun, nyaris tidak pernah ada keluhan tentang kenyamanan.
Nuran menyatakan bahwa penyelenggara Synchronize Fest taat SOP. Dari tahun ke tahun, penyelenggara selalu menyediakan peta berisi petunjuk jalur evakuasi hingga lokasi toilet kepada para penonton. Peta itu menjadi panduan penting bagi tiap pengunjung.
Dalam konteks manajemen keselamatan kerumunan, Nuran menyatakan bahwa sebenarnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pernah membuat semacam panduan pelaksanaan event. Panduan itu dirilis pada 2020. Menurut dia, panduan tersebut cukup komprehensif. Di sana, ada banyak hal yang berkaitan dengan manajemen keselamatan kerumunan.
Salah satu muatan penting dalam panduan itu adalah flow management atau manajemen rute. Artinya, penyelenggara kegiatan harus membuat akses atau rute jalan yang dengan gamblang menunjukkan rute masuk dan rute keluar bagi penonton. Di situ, juga dicantumkan rute masuk dan keluar untuk panitia penyelenggara, vendor, tenant, dan pengisi acara. Rute itu disarankan bersifat satu arah untuk menghindari persinggungan antar pengunjung.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Dino Hamid berharap tidak ada efek domino dari kisruh festival musik Berdendang Bergoyang. Terutama adalah pembatalan event-event besar yang sudah direncanakan jauh-jauh hari dan dijadwalkan pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.
APMI juga meminta publik bisa melihat fenomena penyelenggaraan konser dan festival musik itu secara jernih dan objektif. Sebab, banyak konser dan festival musik yang berjalan dengan lancar, rapi, dan tertib tahun ini. Selain Synchronize Fest, ada Mandalika Music Vibes, Java Jazz Festival, Hammersonic, Prambanan Jazz, hingga Djakarta Warehouse Project.
Itu menjadi bukti bahwa penyelenggara dan promotor yang tertib mampu menyajikan festival yang baik. Itu juga bisa menjadi promosi yang positif. ’’Itu memberikan para penonton suatu pengalaman yang membahagiakan,” kata Dino dalam konferensi pers di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, pada Kamis (3/11).
APMI menyebutkan, belakangan para promotor musik sangat bahagia karena bisa kembali aktif menyelenggarakan event. Para vendor pun tidak kalah girang karena peralatan dan perlengkapan yang hampir dua tahun nganggur akhirnya bisa keluar dari gudang. Para musisi pun demikian. Mereka bisa kembali tampil menghibur penonton secara langsung.
Bangkitnya industri kreatif tersebut tentu memberikan dampak positif bagi industri lain. Sebagaimana industri perhotelan, transportasi, serta makanan dan minuman. Karena itu, APMI berpesan supaya pihak-pihak berwenang tidak mengambil keputusan sepihak yang bisa justru membuat macet perputaran roda ekonomi. Jangan sampai konser dan festival musik yang sedang menggeliat itu mati suri lagi.
Credit: Source link