Abah Grandong (kiri), pria yang viral karena memakan kucing hidup-hidup, saat menyerahkan diri ke Polres Metro Jakarta Pusat.
Jakarta, Jurnas.com – Pejuang Hak Hidup Hewan (PH3) mengapresiasi upaya Polri yang proaktif dalam menangani kasus Sanca alias Abah Grandong (69) yang memakan kucing hidup-hidup.
Ketua Umum PH3, Nina Agustina, yang juga putri Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da`i Bachtiar mengatakan, apa pun alasan pelaku, tindakan makan kucing hidup-hidup tidak dapat dibenarkan dan merupakan kejahatan terhadap hewan.
“Pelaku dapat dijerat dengan pasal berlapis di antaranya Pasal 302 KUHP dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009,” ujar Nina dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/8/2019) malam.
Kata Nina, walau Undang-Undang tersebut belum mencakup kesejahteraan hewan secara keseluruhan, pihaknya yakin pemerintah bisa lebih peduli lagi terhadap hewan. Tidak hanya hak asasi manusia, tetapi juga hak hewan harus ada.
“Kami sangat mengapresiasi upaya Polri yakni Polres Metro Jakarta Pusat yang langsung bergerak memburu pelaku,” jelas Nina.
Di sisi lain, ia sangat kecewa karena sanksi bagi para pelaku kejahatan terhadap hewan masih tergolong ringan. Dari sekian banyak kasus, sedikit sekali yang naik ke persidangan dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
“Karena sanksinya ringan, orang jadi semena-mena dan menganggap remeh kejahatan terhadap hewan. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Hewan harus segera direvisi,” tutur Nina Agustina.
Sementara itu Doni Herdaru Tona, pendiri Animal Defenders Indonesia yang juga berada di bawah naungan PH3 berharap agar ke depannya kasus ini bisa menjadi tonggak penegakan hukum tentang perlindungan hewan.
Ia menegaskan kejahatan terhadap hewan tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebab, pelaku sangat berpotensi untuk melakukan kejahatan terhadap manusia.
“Seperti pernyataan salah satu pakar hukum ahli pidana dari salah satu universitas terkemuka, bahwa polisi bisa langsung menangani atau menyelidiki kasus ini tanpa harus menunggu ada laporan. Ini harus menjadi tonggak berdirinya pasal 302 KUHP, dan selanjutnya menjadi yurisprudensi bagi kasus lainnya,” kata Doni Herdaru Tona.
Terkait pernyataan segelintir orang bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa, bukanlah kompetensi publik untuk menyatakan hal itu. Ia pun menyerahkan prosesnya pada polisi untuk menentukan perlu atau tidaknya pemeriksaan kejiwaan terhadap yang bersangkutan.
Jika memang terbukti mengidap gangguan jiwa, pelaku harus masuk fasilitas rehabilitasi dan jangan dilepaskan begitu saja. Jika tidak terbukti gangguan jiwa, maka dapat dilanjutkan pada proses pidananya.
“Lalu, dia berada di lokasi karena dipekerjakan untuk menjaga suatu lahan. Apakah wajar jika suatu perusahaan mempekerjakan orang dengan gangguan jiwa untuk menjaga lahan atau sebagai keamanan? Apakah sudah melalui suatu proses yang standar dalam seleksi?” Demikian ucap Doni Herdaru Tona.
Aksi Abah Grandong yang memakan kucing hidup-hidup juga mendapatkan komentar dari praktisi kebatinan yang biasa dipannggil Mirna. Sebab, dalam menjalankan aksinya, pelaku mengaku sedang mempraktikkan ilmu hitam yang dianutnya.
“Hemat saya, sebaiknya psikologis yang bersangkutan diperiksa saja. Karena di dunia spiritual, tidak semudah itu kerasukan, demo diruang publik, apalagi mengganggu kenyamanan masyarakat. Ada peraturan tak tertulis yang harus kami patuhi. Tidak boleh juga sesumbar memamerkan kebolehan dan sebagainya kecuali dalam acara tertentu (internal, tidak di ruang publik).”
“Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kucing adalah hewan kesayangan Nabi Muhammad SAW, maka yg dilakukan Abah Grandong salah dari segi manapun.” Demikian tanggapan praktisi kebatinan, Mirna.
TAGS : Pejuang Hak Hidup Hewan Praktisi Kebatinan Abah Grandong si Pemangsa Kucing
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin