disampaikan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra dalam diskusi Dialektika Demokrasi “Vaksin Covid: Masalah atau Solusi?” yang digelar oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
JAKARTA, Jurnas.com – Klaim pemerintah bakal mampu memproduksi vaksin Covid-19 pada awal tahun depan dinilai oleh praktisi kesehatan sebagai sesuatu yang over estimate dan sikap gegabah yang terus diulang.
Demikian disampaikan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra dalam diskusi Dialektika Demokrasi “Vaksin Covid: Masalah atau Solusi?” yang digelar oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Hermawan mengataan, proses pembuatan vaksin tidak bisa didorong-dorong untuk segera selesai dan berhasil serta langsung didistrubikan ke masyarakat. Vaksin adalah proses yang natural karena berkaitan dengan proses ilmiah dan clinical trials.
“Sehingga ada tahap-tahap yang dilakukan dari mulai penyelidikan tentang subtant dari dari virus ini, kaitan dengan reaksi terhadap antigen, antibodi, uji klinis di laboratorium dan tahapan-tahapan lainnya hingga pada clinical trials,” kata Hermawan.
Menurut Hermawan, seharusnya selama proses penyelidikan dan penelitian vaksis itu sifatnya silent, tidak bisa dibuka dan diumumkan begitu saja. Sebab, bila salah mengkomunikasikan di ruang-ruang publik, itu menjadi bumerang.
“Jangan ulangi kejadian ketika presiden mengumumkan bahwa klorokuin dan avigan bisa menyembuhkan Covid-19, tetapi faktanya hingga sekarang tidak terjadi dan tidak ada yang menggunakan obat itu,” katanya.
Menuruttnya, semua praktisi kesehatan sepakat bahwa paling cepat vaksin covid-19 dapat digunakan oleh masyarakat luas pada akhir tahun 2021.
“Tetapi kalau ada pejabat pemerintah mengatakan awal tahun depan, ini sebenarnya yang kita cukup sayangkan. Ppadahal ini menyangkut perspektif kesehatan dan menyangkut nyawa dan juga kehidupan manusia,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, Hermawan juga menyampaikan bahwa hingga saat Indonesia belum memiliki arah kebijakan yang betul-betul tajam untuk pengendalian Covid-19. Pengendalian Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diharapkan menjadi salah satu solusi dalam pencegahan dan penanganan Covid-19, tetapi kenyataannya hingga hari ini hanya 3 provinsi yang menerapkan yaitu DKI Jakarta, Jawa barat dan Sumatera barat.
Kabupaten kota pun di awal sangat populer menginisiasi PSBB tetapi oleh provinsi dan pusat malah ada proses yang agak rumit. Bahkan sekarang PSBB tidak menjadi populer, bukan menjadi pilihan dan bahkan hampir dihilangkan dengan keluarnya kebijakan PSBB transisi, PSBB proporsional, dan istilah-istilah pelonggaran lainnya.
“PSBB itu dari awal bentuk intervensi longgar, tetapi karena harus dilonggarkan lagi itu sama halnya tidak ada PSBB,” katanya.
Kemunculan kebijakan baru dengan Perpres Nomor 82 Tahun 2020, tanggal 20 Juli lalu, telah merubah nomenklatur Gugus Tugas Covid-19 menjadi komite kebijakan nasional untuk pemulihan ekonomi nasional dan pengendalian Covid-19. Sehingga gugus tugas bermetamorfosa menjadi satgas.
“Satuan tugas dengan gugus tugas itu beda makna. Gugus tugas sangat taktis untuk bekerjasama dengan stakeholder yang lain, kemudian dia juga bisa mengumkan secara rutin informasi Covid-19. Sekarang ada di bawah payung lembaga baru, sehingga kalaupun ada komunikasi maka itu bukan komunikasi gugus tugas, tapi komunikasi oleh komite kebijakan pemulihan ekonomi nasional dan pengendalian covid-19, maka penekanannya akan berubah,” jelasnya.
TAGS : dialektika demokrasi vaksin covid-19
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin