JawaPos.com – Pandemi Covid-19 akhirnya membawa perekonomian Indonesia ke jurang resesi. Ekonomi triwulan II mengalami kontraksi 5,32 persen dan triwulan III drop negatif 3,49 persen.
Ekonomi nasional secara berturut-turut berada di zona negatif. Namun, membaiknya ekonomi pada triwulan III dibanding triwulan II 2020 memberikan sinyal bahwa pemulihan ekonomi sedang berjalan.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pun memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2021 hanya 3 persen. Ramalan ini didasari beberapa hal, salah satunya yaitu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pada tahun ini masih belum maksimal.
Indef juga melihat, program perlindungan sosial belum dapat menggerakkan permintaan domestik. Apalagi jumlah bantuan perlindungan sosial berkurang separuh pada tahun depan. Belanja kelas menengah diperkirakan masih belum meningkat ketika pandemi Covid-19 belum mereda.
Lalu, laju kredit perbankan sebagai sumber utama likuiditas perekonomian masih akan tertekan. Sehingga pemulihan ekonomi secara keseluruhan juga akan berjalan pelan. Upaya melakukan ekspansi moneter melalui penurunan bunga acuan juga mengalami keterbatasan seiring menjaga stabilitas kurs.
Di samping itu, ketersediaan vaksin masih terbatas. Kalaupun vaksin sudah tersedia hingga 70 persen dari populasi, tentunya proses distribusi dan vaksinasi akan memerlukan waktu. Selama proses tersebut, pembatasan aktivitas dan protokol kesehatan masih akan berlanjut.
Sementara, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat sebesar 14.800. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat Credit Default Swap (CDS) masih bergerak tinggi dan cenderung fluktuatif dibandingkan pasar negara ASEAN lainnya. Ketika tingkat CDS tinggi, besarnya dana yang dikeluarkan investor untuk melindungi portofolio pun masih tinggi. Investor akan berhati-hati untuk masuk ke pasar Indonesia.
Optimisme ekonomi Amerika Serikat pasca pemilu justru bisa menjadi berita buruk untuk pasar uang Indonesia yang dinamikanya sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal atau asing. Dolar AS akan menguat seiring membaiknya perekonomian AS, sementara Rupiah lebih berpeluang tertekan.
Pasar uang di Indonesia yang masih dangkal membuat investor lebih tertarik untuk perdagangan jangka pendek dan bukan untuk investasi jangka panjang. Akibatnya Rupiah cenderung fluktuatif dibanding beberapa mata uang negara lain.
Sedangkan, tingkat inflasi sebesar 2,5 persen. Hal ini dikarenakan pada tahun 2021 daya beli masyarakat yang masih tertahan dan aktivitas ekonomi yang belum pulih seperti sedia kala membuat tingkat inflasi masih terpatok rendah.
Sisi suplai kebutuhan bahan kebutuhan pokok perlu tetap tersedia dengan baik serta distribusi yang lancar. Hanya sedikit daerah yang diperkirakan mengalami kesulitan mendapatkan bahan pokok secara tepat waktu.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link