Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2022 Diprediksi Capai 6 Persen
JawaPos.com – Ekonomi Indonesia pascapandemi masih relatif kuat. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III akan mencapai 6 persen. Realisasi pendapatan negara yang didorong tumbuhnya pendapatan pajak, angka optimisme konsumen, hingga indeks manufaktur juga menunjukkan angka yang menggembirakan.
Presiden Joko Widodo menyatakan, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.764 triliun. Tumbuh 49 persen secara year-on-year. Secara khusus, presiden memberikan apresiasi pada kontribusi pajak terhadap penerimaan negara.
”Kemudian, ini yang (kepada) para pembayar pajak, saya ingin mengucapkan terima kasih karena penerimaan pajak sampai sekarang mencapai Rp 1.171 triliun. Tumbuh 58 persen,” ungkap Jokowi pada acara United Overseas Bank (UOB) Economic Outlook 2023 di Jakarta kemarin (29/9).
Saat ini pendapatan negara didorong beberapa hal. Dari penerimaan bea cukai sebesar Rp 206 triliun atau tumbuh 30,5 persen. Selain itu, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga tumbuh 38,9 persen menjadi Rp 386 triliun. ”Artinya, masyarakat masih konsisten dan memiliki kemampuan dalam hal tadi yang saya sampaikan,” katanya.
Jokowi menambahkan, indeks kepercayaan konsumen naik menjadi 124,7. Sebelumnya, pada Juli hanya di level 123. ”Berkaitan dengan perbankan, kredit tumbuh 10,7 persen. Ini juga menurut saya cukup tinggi,” ucapnya.
Lalu, neraca dagang Indonesia surplus 28 bulan berturut-turut. Pada Agustus, neraca dagang Indonesia surplus USD 5,7 miliar. Indikator lainnya, purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia terus menguat dan berada pada angka 51,7 per Agustus lalu. Dari berbagai indikator tersebut, Jokowi pun memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2022 bisa mencapai 6 persen.
Meski kondisi ekonomi dalam negeri positif, situasi global belum pasti. Untuk itu, pemerintah tetap membenahi berbagai hal fundamental. Salah satunya pembangunan infrastruktur. ”Karena di situlah fondasi kita dalam jangka menengah dan panjang. Kita perbaiki karena ini menyangkut nanti daya saing. Tidak akan bisa bersaing dengan negara lain kalau konektivitas tidak kita miliki dengan baik,” papar Jokowi.
Hal fundamental berikutnya yang dilakukan pemerintah adalah hilirisasi. Indonesia tidak lagi mengekspor berbagai komoditas tambang dalam bentuk bahan mentah. Jokowi mencontohkan, penghentian ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah telah berhasil mendongkrak nilai ekspor menjadi berkali lipat. ”Nanti kita stop lagi timah, tembaga. Kita stop lagi bahan-bahan mentah,” tegasnya.
Selanjutnya, hal fundamental yang menjadi fokus pemerintah adalah ketahanan pangan dan energi. Untuk ketahanan energi, Jokowi mencontohkan penggunaan biosolar B30 yang diharapkan dapat meningkat menjadi B40. Dengan demikian, bisa membantu meningkatkan ketahanan energi di tengah krisis energi yang melanda dunia. ”Kenapa kita sekarang ingin bangun food estate? Supaya ada kelebihan produksi. Selain menjaga ketahanan pangan kita, juga bisa membantu negara lain dalam hal urusan pangan,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, dampak yang ditimbulkan pandemi terhadap ekonomi sangat dalam. Bahkan melampaui krisis keuangan medio 1997–1998 dan 2008–2009. ”Pandemi mulai dan sudah bisa dikelola meskipun belum sama sekali selesai. Pandemi meninggalkan scarring effect yang sangat dalam,” jelasnya.
Krisis yang terjadi pada 1997–1998 dan 2007–2008, kata dia, hanya menyerang neraca lembaga keuangan, perusahaan asuransi, hingga korporasi besar. Hal itu bisa terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok sehingga berdampak pada sisi pinjaman. ”Menimbulkan dampak ancaman pada eksistensi atau keberlanjutan dari lembaga keuangannya dan itu berarti menimbulkan efek sistemik. Itu yang terjadi pada 1997–1998, 2007–2008, yaitu sumber masalahnya di neraca lembaga keuangan dan korporasi besar,” papar Ani, sapaan karib Sri Mulyani.
Sementara itu, masalah utama dari wabah pandemi Covid-19 adalah penyakit yang mengancam manusia. Wabah tersebut disebabkan virus baru yang pada awal persebarannya belum ada temuan obat maupun vaksinnya.
Berbagai kebijakan yang ditempuh tidak akan cukup untuk membalikkan dampak luka ekonomi yang sudah sangat dalam. Namun, pemerintah tetap berupaya menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk memberi bantalan ekonomi dan sosial kepada masyarakat serta usaha kecil dan menengah. Di antaranya, menggelontorkan bantuan sosial kepada 10 juta penerima program keluarga harapan (PKH).
Kemudian, memberikan bantuan 18,8 juta sembako, bantuan terhadap UMKM, hingga bantuan subsidi upah untuk karyawan yang gajinya di bawah Rp 5 juta per bulan. ”Ini karena kita memahami bahwa masyarakat yang hidupnya bergantung cash flow harian sangat terpukul dengan pandemi, scarring effect-nya dalam dan luas. Itu efek luka dari pandemi tidak hanya penyakit,” kata Menkeu.
Sementara itu, Presiden Direktur UOB Indonesia Hendra Gunawan berpandangan, proses integrasi pertumbuhan hijau ke dalam strategi pembangunan nasional akan menjadi kunci pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang Indonesia. Hal itu akan membantu meningkatkan belanja konsumen dan mendukung strategi hilirisasi industri nasional.
UOB Indonesia memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh menjadi 4,8 persen pada tahun ini dan 5 persen pada 2023. ”Didukung konsumsi domestik yang kuat dan kenaikan ekspor komoditas,” katanya.
Hendra mengapresiasi kepemimpinan Presiden Jokowi dalam menavigasi pemulihan ekonomi pascapandemi di tengah berbagai tantangan dan ketidakpastian global. Menurut dia, perekonomian Indonesia terbukti resilien. Sinergi kebijakan makroekonomi pemerintah berhasil membawa negara pulih dengan cepat.
Ekonom UOB Enrico Tanuwidjaja menambahkan, perubahan iklim menjadi masalah paling mendesak yang tengah dihadapi dunia. Tidak terkecuali Indonesia. Secara global, perekonomian tengah dihadapkan pada tantangan terkait permintaan energi, kelangkaan pangan, serta masalah kesehatan.
Data Asia Development Bank menunjukkan, permintaan energi di Asia akan melonjak dua kali lipat pada 2030. Saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). Yakni, meliputi 67 persen dari bauran pembangkit energi nasional.
Meski demikian, tren tersebut mungkin bakal melambat. Sejalan dengan kebijakan pemerintah yang melarang pengembangan PLTU baru dan memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan.
Di sisi lain, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan, tahun ini inflasi bakal menguat di tengah penyesuaian. Secara tahunan, inflasi berkisar 6,08 persen YoY pada 22 September. Inflasi inti juga terlihat terus menguat seiring meningkatnya mobilitas dan dampak putaran kedua dari penyesuaian harga BBM. ”Diperkirakan (inflasi inti) sebesar 3,47 persen,” terang Faisal.
Dia memperkirakan, inflasi tetap tinggi di sisa 2022. Terutama disebabkan membaiknya permintaan (demand-pull inflation) di tengah pelonggaran PPKM. Ditambah dengan kenaikan harga bahan pangan dan energi menyusul penyesuaian harga bensin dan solar bersubsidi (cost-push inflation).
Secara keseluruhan, Faisal memproyeksikan tingkat inflasi akan mencapai 6,27 persen pada akhir tahun ini. Oleh karena itu, BI masih memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuannya. Setidaknya menjadi 5 persen.
Dari Jawa Timur, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kemenkeu Provinsi Jatim Taukhid mengatakan, kinerja APBN di wilayahnya belum seimbang. Realisasi pendapatan negara di regional Jatim hingga Agustus 2022 mencapai Rp 162,69 triliun atau setara 67,82 persen dari target. Angka tersebut tumbuh 23,7 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu.
Dia menjelaskan, pendapatan itu didorong oleh perolehan pajak senilai Rp 70,74 triliun, bea cukai Rp 87,53 triliun, dan PNBP Rp 4,43 triliun (89,56 persen). ”Pertumbuhan pajak dan bea cukai sudah tembus 20 persen tahun ini. Sedangkan untuk PNBP memang turun 13 persen karena ada dua BLU yang berubah status menjadi PTN BH,” jelasnya.
Credit: Source link