ilustrasi seorang ibu yang berjuang untuk mengambil air bersih
Jakarta – Kurangnya sumber air bersih di masyarakat bukan disebabkan persoalan ketersedianan airnya, tapi jeleknya manajemen pengelolaan air. Pasalnya, potensi sumber daya air Indonesia besrnya mencapai 3,9 triliun meter kubik per tahun. Yang telah dapat dikelola baru mencapai sekitar 691 miliar meter kubik atau 18% dari potensi air yang ada di Indonesia saat ini dan sisanya terbung ke laut.
“Jadi potensi yang belum termanfaatkan itu masih ada sekitar 3,2 triliun meter kubik per tahun atau 82 persen. Untuk potensi sebesar itu, selain untuk air bersih, juga masih bisa digunakan untuk kebutuhan energi untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan total kapasitas 75 gigawatt (GW) atau lebih dari dua kali program pembangunan pembangkit yang direncanakan pemerintah hingga 2019, yakni 35 gigawatt,” ucap pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri baru-baru ini.
Jadi, kata Faisal, masalah kurangnya ketersediaan air bersih di masyarakat itu sebetulnya bukan persoalan ketersediaan air tapi manajemen pengelolaan air yang buruk. Pada tahun 2017, dari 378 PDAM, yang tercatat sehat hanya sebanyak 209 (55,3 persen), sementara kurang sehat 103 (27,2 persen), dan sakit 66 (17,5 persen).
Hampir semua PDAM berbasis batas administratif (kabupaten/kota), padahal sifat kegiatannya adalah monopoli alamiah yang butuh keekonomian skala (economies of scale) besar.
Menurutnya, Indonesia bukanlah negara yang langkah air Sekitar 21% air yang ada di Asia Pasifik berada di Indonesia.
“Jadi goblok kita kalau ngomongi ini terus, kalau cara pendekatan bernegaranya begini terus. Masalah yang dihadapi adalah jeleknya manajemen air , di mana kebutuhannya lebih cepat dari kita menghasilkan atau mengelola air itu, sehingga memicu kelangkaan air di berbagai daerah. Lantas yang disalahkan air dalam kemasan. Goblok banget. Goblok betul,” tandas Faisal.
Dia menuturkan bahwa air yang digunakan oleh idnustri air kemasan itu hanya sekitar 2% dari total jumlah air yang ada dan itu jadi kambing hitam. Kan goblok,” tukasnya.
Jadi, kata Faisal, tugas negara lewat Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) yang baru nanti adalah bagaimana mengoptimalkan potensi air sebesar 3,9 triliun itu menjadi kenyataan. “Jadi bukan membatasi, tapi memperluas akses air sehingga bisa cukup untuk semua masyarakat di Indonesia,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan peneliti INDEF Rusli Abdulah, di mana kebutuhan air secara keseluruhan untuk industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) masih relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan lainnya seperti untuk irigasi, mandi, minum, dan sebagainya. Secara persentase, angkanya masih di bawah 10 persen. “Jadi sangat aneh jika industri AMDK ini dianggap telah menguasai sumber air sehingga rakyat tidak mendapat akses untuk air ini,” katanya.
Kata Rusli, pelarangan swasta dalam dalam industri AMDK dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang diinisiasi DPR RI akan memunculkan monopoli dalam industri air minum. Pemegang monopoli ini adalah Pemerintah. Dalam ilmu ekonomi dan juga beberapa fakta di lapangan, monopoli menimbulkan kerugian, baik bagi perekonomian dalam arti umum dan konsumen dalam arti khusus.
TAGS : Pengamat Ekonomi Pengelolaan Air Faisal Basri
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin