JawaPos.com – Peran teknologi digital terhadap perekonomian diperkirakan akan semakin besar. Research Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, saat ini pergerakan ekonomi sudah tidak lagi terbatas terhadap ruang dan waktu. Hal itu berbeda jika dibandingkan 20 tahun lalu dimana transaksi keuangan sangat bergantung pada jam operasional perbankan.
Menurutnya, cepatnya pergerakan ekonomi digital tersebut tidak terlepas dari peran perusahaan-perusahaan yang begerak di bidang teknologi. Apalagi, di era digital yang serba cepat dan tidak terbatas ini, para perusahaan teknologi memiliki kesempatan untuk masuk ke semua sektor.
Namun untuk memenangkan persaingan di sektor ini menurutnya tidak mudah. Harus memiliki ekosistem yang kuat yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumen atau penggunanya.
“Dalam konsep ekonomi digital ini, kita harus mengenal ekosistem digital, jadi bukan perusahaan tunggal. Sehingga, untuk memenangkan persaingan, harus bersinergi dengan perusahaan lain di bidang yang berbeda untuk membentuk ekosistem agar menjadi kuat,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (24/2).
Piter mencontohkan, seperti yang dilakukan oleh PT Bank Jago Tbk (JAGO) yang dianggap sebagai perintis awal untuk membentuk ekosistem pada persaingan bank digital. Kemudian, perusahaan GoTo yang dikabarkan akan melepas sahamnya di pasar modal juga dinilai memiliki ekosistem yang kuat karena sudah berada di posisi yang cukup mapan di dalam persaingan.
Selain bisnis yang sudah sangat terintegrasi dalam satu ekosistem yang besar, lanjutnya, ada strategi Gojek dan Toba Bara yang membentuk electrum, yaitu sebuah ekosistem kendaraan listrik. Kehadiran Electrum yang akan mengembangkan bisnis dari hulu sampai hilir ini merupakan upaya optimalisasi Gojek yang kini memiliki mitra pengendara motor lebih dari 1 juta.
“Ini bisnis yang luar biasa besar, sehingga nanti akan semakin memperkuat bisnis yang sudah ada dan meningkatkan loyalitas dan branding dari GoTo. Jika nantinya GoTo go public, mereka juga dapat dikenal sebagai emiten green di pasar modal Indonesia,” ungkapnya.
Sementara, Founder & CEO Emtrade Ellen May mengatakan, performa saham teknologi di tahun lalu meningkat sangat signifikan dibandingkan dengan sektor lainnya. Selain faktor pandemi yang membuat kebutuhan akan terknologi meningkat, juga dikarenakan perkembangan dari bisnis perusahaan-perusahaan teknologi tersebut.
Contohnya saja seperti PT DCI Indonesia (DCII) dan PT Digital Mediatama Maxima Tbk (DMMX) yang pergerakan sahamnya cukup tinggi. Lalu perusahaan logistik ASSA, yang menerapkan teknologi dalam bisnisnya, pertumbuhan juga luar biasa.
“Jadi tahun ini saya yakin tren sektor teknologi ini akan terus berlanjut, meskipun tetap akan ada up and down,” imbuhnya.
Menurutnya, optimisme tersebut juga didorong dengan adanya perusahaan teknologi seperti GoTo yang dikabarkan akan IPO pada tahun ini. Sebab, IPO besar seperti GoTo, dipastikan akan menambah bobot dari sektor teknologi dalam perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
“Dengan bertambahnya bobot sektor teknologi pada perhitungan IHSG, saya yakin portofolio dari fund manager, asset management, reksadana dan lainnya, akan menambah portofolio pada sektor teknologi. Karena bagaimana pun mereka akan menggunakan IHSG ini sebagai tolak ukur dan tidak mau returnnya jauh beda dengan IHSG, bahkan kalau bisa lebih bagus,” ujarnya.
Sehingga, kata Ellen, jika saham ini memiliki kapitalisasi yang besar dan free floatnya besar, maka investor harus memiliki saham tersebut. Hal itu akan berdampak pada supply and demand terhadap saham teknologi.
“Kalau misalkan mereka harus rebalancing portofolio dan mengisi portofolionya dengan saham-saham teknologi, maka demand terhadap saham-saham teknologi akan menjadi lebih besar dan menjadi dorongan bagi saham teknologi ini aktif. Tapi saya tidak bilang melulu naik,” pungkasnya.
Editor : Banu Adikara
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link