JAKARTA, BALIPOST.com – Pembelajaran Tatap Muka (PTM) diputuskan mulai dilaksanakan pada semseter genap Tahun AJaran 2020-2021. Syarat untuk memberlakukan PTM pun sangat ketat demi melindungi kesehatan dan keselamatan anak. Demikian dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Senin (30/11) dalam Rapat Koordinasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dikutip dari Kantor Berita Antara.
Ia mengatakan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 bukan berarti tanpa prasyarat yang ketat. Ia mengakui bahwa pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah berlangsung selama sembilan bulan terakhir bukan tanpa kendala.
Di satu sisi, PJJ merupakan upaya untuk mencegah penyebaran COVID-19 sembari tetap melanjutkan proses belajar. Namun, di sisi lain PJJ tersebut telah menimbulkan banyak sekali dampak negatif terhadap anak-anak. “Berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat dan di beberapa negara lain terdapat beberapa kecenderungan, misalnya semakin lama PTM tidak terjadi, semakin besar dampak yang terjadi kepada anak. Misalnya ancaman putus sekolah, risiko putus sekolah karena anak terpaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga,” katanya.
Kemudian, Nadiem juga menilai bahwa tumbuh kembang anak, baik secara kognitif maupun perkembangan karakternya juga akan semakin terkendala jika PTM tidak segera dilaksanakan. Selain itu, tekanan psikososial dan aksi kekerasan terhadap anak juga banyak terjadi dan tidak terdeteksi oleh guru selama PJJ dilaksanakan.
“Memperhatikan dampak tersebut pemerintah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PJJ di satuan pendidikan dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Hasil evaluasi tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyesuaikan SKB 4 menteri di masa pandemi,” kata Nadiem.
Untuk itu, ia kembali menegaskan kepada semua pihak bahwa rencana PTM di Semester Genap Tahun Ajaran 2020-2021 akan dilaksanakan dengan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat sehingga memungkinkan peserta didik untuk dapat melanjutkan belajar secara tatap muka, tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat. Menteri Nadiem menyebutkan beberapa prasyarat ketat itu, antara lain adalah bahwa penentuan pemberian izin PTM tidak lagi didasarkan pada peta zonasi risiko dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, tetapi oleh pemerintah daerah (pemda), kantor wilayah (kanwil) atau Kementerian Agama (Kemenag), dan tetap dilanjutkan dengan izin berjenjang dari satuan pendidikan dan orangtua.
“Tidak harus serentak sekabupaten per kota, tapi bisa bertahap di tingkat kecamatan, kelurahan dan desa. Semuanya tergantung keputusan pemda tersebut,” katanya.
Kemudian, satuan pendidikan juga harus memenuhi daftar periksa, termasuk persetujuan dari komite sekolah dan perwakilan orang tua. Orang tua, katanya, memiliki hak penuh untuk menentukan apakah anaknya boleh masuk sekolah atau tidak.
Apabila izin tidak diberikan maupun daftar periksa dan persetujuan tidak dapat dipenuhi, maka peserta didik akan melanjutkan pembelajaran dari rumah secara penuh. Tetapi apabila ketiga tahapan terpenuhi, maka peserta didik dapat memulai PTM di satuan pendidikan secara bertahap.
Bagi orang tua yang tidak mengizinkan anaknya untuk melaksanakan PTM, maka sekolah tetap diwajibkan untuk memfasilitasi pembelajaran secara jarak jauh bagi peserta didik. “Dari semua ini yang terpenting adalah pemda harus mempertimbangkan dengan matang pemberian izin PTM,” katanya. (kmb/balipost)
Credit: Source link