Quiet quitting sempat menjadi sebuah fenomena yang ramai diperbincangkan di kalangan profesional muda. Khususnya di generasi Y akhir dan Z yang mulai memasuki dunia kerja.
—
FENOMENA tersebut muncul sebagai bentuk resistansi terhadap perusahaan-perusahaan ataupun atasan-atasan yang dinilai memberikan terlalu banyak pekerjaan ekstra di luar tanggung jawab utama karyawan. Mereka yang melakukan quiet quitting itu cenderung menolak saat harus melakukan pekerjaan ekstra, apalagi bila permintaan tersebut di luar jam atau hari kerja.
Bagaimana kita menyikapi fenomena tersebut dari sudut pandang etika sebagai seorang profesional? Berikut beberapa poin yang dapat membantu membuka perspektif tentang quiet quitting.
1. Pahami konteks kesehatan mental secara menyeluruh
Salah satu alasan orang melakukan quiet quitting adalah pertimbangan kesehatan mental. Namun, di luar pentingnya seseorang memperhatikan kesehatan mental, kita perlu memahami konsep tepat mengenai stres yang sehat, batasan kesehatan mental, dan hal lain yang terkait.
Kesehatan mental adalah sebuah pemahaman yang seharusnya bersifat holistik dan diimbangi pengetahuan yang cukup. Selain itu, kesehatan mental adalah keadaan yang diukur dalam periode waktu tertentu, bukan hanya dalam jangka pendek. Tanggung jawab mengenai hal tersebut bersifat dua arah, dalam arti bahwa perusahaan maupun karyawan perlu sama-sama memahami pentingnya menjaga kesehatan mental.
2. Tidak ada kesuksesan yang dicapai tanpa kerja keras (dan kerja cerdas)
Kerja cerdas sering kali menjadi alasan bagi orang yang melakukan quiet quitting. Namun, yang sering disalahartikan adalah kerja cerdas itu berarti kita tidak perlu kerja keras. Pengertian kerja cerdas yang sesungguhnya adalah bagaimana seseorang dalam kerja kerasnya dapat mencapai produktivitas yang maksimal. Seseorang yang benar-benar bekerja cerdas memikirkan efisiensi dan efektivitas dalam pekerjaannya sehingga saat melakukan tanggung jawab kita dalam perusahaan, hasil dan pencapaian yang diperoleh dapat mencapai titik excellent. Pengetahuan tentang manajemen waktu, pendelegasian tugas, strategi dan pengambilan keputusan, baik dari sisi perusahaan maupun karyawan, merupakan skill yang sangat dibutuhkan dalam bekerja keras dan bekerja cerdas itu.
3. Extra works ≠ toxic environment
Sebagaimana disebutkan di atas, fenomena quiet quitting itu muncul sebagai bentuk resistansi terhadap perusahaan/atasan yang sering memberikan tanggung jawab di luar tanggung jawab utama dalam pekerjaan. Tanpa menutup kemungkinan bahwa memang ada perusahaan/atasan yang sering memberikan tuntutan berlebihan, ada baiknya kita memahami bahwa dalam situasi-situasi darurat atau mendesak, kita juga perlu menjadi pribadi yang siap untuk melakukan tanggung jawab ekstra dalam pekerjaan kita.
Bila kita melihat dari perspektif lain, tanggung jawab ekstra dapat menjadi kesempatan memperluas skill kita di luar keterampilan yang sudah kita kuasai sebelumnya. Dan, keterampilan yang semakin luas tersebut akan membuka wawasan kita saat kita mengalami peningkatan karier.
4. Asertivitas memegang peranan penting
Quiet quitting sering terjadi akibat ketidakmampuan seseorang berkomunikasi secara asertif. Keterampilan berkomunikasi asertif dapat membantu kita untuk menyikapi sebuah permintaan secara dewasa sehingga kita tidak serta-merta mengiyakan atau menolak semua permintaan. Agar dapat membangun keterampilan berkomunikasi asertif tersebut, kita perlu pemahaman tentang pengenalan kapasitas diri dan manajemen prioritas yang benar.
5. Jangan bakar kapal!
Bahaya laten terbesar dari sikap quiet quitting itu adalah bagaimana seseorang akan cenderung ”membakar kapal” saat mengundurkan diri, dengan kata lain memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan ”masa lalu”, yakni perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya.
Mengapa kita perlu melihat itu sebagai bahaya? Karena itu berarti orang tersebut memutuskan mata rantai networking, yang mungkin akan diperlukan dalam kariernya pada kemudian hari. Impresi yang ditimbulkan saat seseorang mengundurkan diri dari perusahaan tempat dia bekerja akan menjadi rekam jejak. Alangkah baiknya, bila sudah merasa tidak lagi dapat selaras dengan tempat kerja, mengundurkan diri secara baik-baik. Kita tidak akan pernah tahu kapan netwoking yang dibangun berdasar iktikad baik akan berguna pada kemudian hari.
Entah apa pun alasannya, quiet quitting adalah ’’panggilan untuk berbenah’’, entah itu secara perusahaan, kepemimpinan, ataupun mental si karyawan sendiri. Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan produktif. Dan, berbagai pihak terkait harus benar-benar serius menanggapi secara objektif dan memiliki pengelolaan ekspektasi yang tepat. Mari kita ciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif! (*)
*) Andrew Ardianto, President director John Robert Powers
Credit: Source link