JAKARTA, BALIPOST.com – Rancangan Undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan mengatur tentang cuti melahirkan bagi ibu pekerja dan cuti ayah. Hal itu dikatakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga.
“Rumusan cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan adalah paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter,” kata Bintang Puspayoga dalam Raker Gabungan Pengambilan Keputusan RUU KIA, di Kompleks DPR, Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Senin (25/3).
Dikatakannya, berdasarkan RUU tersebut, bahwa setiap ibu yang bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan untuk bulan ke-4, serta 75 persen dari upah untuk bulan ke-5 dan bulan ke-6.
Sementara untuk cuti bagi suami yang mendampingi istrinya melakukan persalinan adalah dua hari dan dapat diberikan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. “Sedangkan bagi suami yang mendampingi istrinya yang keguguran berhak mendapatkan cuti selama dua hari,” kata Bintang Puspayoga.
RUU ini telah berubah dari awalnya bernama RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan. “Rumusan ini disepakati dengan mempertimbangkan kohesivitas terhadap Batang Tubuh Rancangan Undang-undang,” kata dia.
RUU KIA juga tidak mendefinisikan anak. “Definisi anak mengikuti definisi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada seperti Undang-undang Perlindungan Anak,” katanya.
Lebih lanjut Bintang Puspayoga mengatakan yang didefinisikan dalam RUU ini adalah anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan yaitu seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia 2 tahun.
Selain itu RUU KIA juga melakukan penajaman substansi dengan tidak hanya memberi perhatian pada hak ibu yang bekerja dan ibu penyandang disabilitas, tapi juga ibu dengan kerentanan khusus.
“Antara lain ibu berhadapan dengan hukum, ibu di lembaga pemasyarakatan, ibu di penampungan, ibu dalam situasi bencana, ibu dalam situasi konflik, ibu tunggal, Ibu korban kekerasan, ibu dengan HIV AIDS, ibu yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan atau ibu dengan gangguan jiwa,” kata dia. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link