JawaPos.com – Pemerintah menerbitkan dua kebijakan baru terkait pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Salah satunya mengatur tentang sanksi bagi mereka yang masuk daftar sasaran penerima, tapi menolak divaksin.
Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 yang mengubah Perpres 99/2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Penanggulangan Covid-19. Dalam Perpres 14/2021, ada beberapa pasal dan ayat yang diubah atau dihilangkan.
Ada beberapa hal yang disorot. Salah satunya terkait dengan adanya kewajiban vaksinasi. Merujuk pasal 13A ayat 2, disebutkan, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 berdasar pendataan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) wajib mengikuti vaksinasi.
Kecuali jika penerima vaksin tidak memenuhi kriteria penerima vaksin Covid-19 sesuai dengan indikasi vaksin yang tersedia.
Jika mereka tidak mengikuti vaksinasi Covid-19, pemerintah menetapkan adanya sanksi administratif. Ada tiga macam sanksi. Yang pertama adalah penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial (bansos). Dua lainnya adalah penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan serta sanksi denda. Tidak disebutkan besaran denda yang dikenakan. Pengenaan sanksi-sanksi tersebut dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin tapi tidak mengikuti vaksinasi akan dikenai sanksi merujuk pada UU tentang Wabah Penyakit Menular. Itu tercantum pada pasal 13B perpres yang baru. Dalam UU Wabah Penyakit Menular, ada ketentuan pidana bagi yang sengaja menghalangi penanggulangan wabah.
Siti Nadia Tarmizi, juru bicara Kemenkes terkait vaksin Covid-19, menuturkan, sanksi tersebut menjadi upaya mitigasi seandainya ada penolakan. Namun, dia tidak menjawab secara gamblang apakah pengenaan sanksi itu merupakan upaya memersuasi masyarakat agar mau divaksin Covid-19.
Nadia menegaskan bahwa adanya Perpres 14/2021 tidak mengubah rencana Kemenkes dalam vaksinasi.
”Akan dikaitkan dengan permenkes terkait seperti Permenkes 84/2020,” ungkapnya. Juga, tidak ada perubahan rencana road map vaksinasi.
Secara terpisah, ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono tidak setuju dengan ancaman denda yang dikenakan bagi orang yang menolak vaksinasi. Langkah tersebut, kata dia, tidak elok. Selain pesan yang ingin diberikan tidak sampai, dikhawatirkan ada kejadian yang tidak diinginkan. ”Nanti kalau dipaksa, bisa saja yang nggak ada apa-apa dibuat ada sesuatu,” ucapnya.
Hal itu merujuk pada risiko adanya KIPI (kejadian ikutan pascaimunisasi). ”Pura-pura kesurupan. Orang Indonesia kan paling banyak kesurupan,” selorohnya.
Menurut Pandu, pemaksaan itu tidak perlu diberlakukan kepada mereka yang enggan divaksin. Namun, bukan berarti mereka ditinggalkan. Mereka tetap harus diedukasi atas apa yang menjadi upaya bersama dalam melawan pandemi.
Pandu menegaskan tidak perlu khawatir bila target herd immunity tak tercapai. Pada prinsipnya, untuk bisa mendapatkan ketahanan kelompok, cukup 70 persen dari jumlah populasi yang divaksin. Kesempatan mencapai target itu pun jauh lebih banyak. ”Kalau yang 70 persen ini benar-benar divaksin dua kali, bisa melindungi 30 persen yang tidak divaksin,” ungkapnya.
Kendati demikian, Pandu menganjurkan agar masyarakat tak perlu ragu untuk divaksin Covid-19. Manfaatnya jauh lebih banyak daripada keraguan itu sendiri. ”Kalau kena (Covid-19, Red) rugi sendiri, nyesel seumur hidup,” tandasnya.
Kelompok Komorbid
Aturan lain yang diterbitkan terkait vaksinasi adalah Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/368/ 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 pada Kelompok Sasaran Lansia, Komorbid, Penyintas Covid-19, serta Sasaran Tunda. Dalam surat itu dijelaskan skrining vaksinasi bagi kelompok komorbid dan penyakit kronis lainnya dengan ketentuan yang harus dipenuhi. Kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia diharapkan segera melakukan tindakan korektif.
Nadia menjelaskan, surat edaran tersebut didasari kajian Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional serta Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki). ”Hasil kajian menyebutkan, vaksinasi Covid-19 dapat diberikan kepada kelompok usia 60 tahun ke atas, ibu menyusui, penyintas Covid-19 setelah tiga bulan, dan komorbid,” terang dia.
Pemberian vaksin, tutur Nadia, harus tetap mengikuti petunjuk teknis pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Sejauh ini untuk jenis vaksin akan menggunakan jenis yang sama dengan yang selama ini disuntikkan, yakni CoronaVac dari Sinovac.
Yang diberi catatan, kata Nadia, bagi kelompok usia 60 tahun ke atas, vaksinasi diberikan dua dosis dengan interval 28 hari. Selain itu, terdapat skrining tambahan bagi sasaran usia lebih dari 60 tahun. Misalnya, adakah kesulitan untuk naik sepuluh anak tangga. ”Sementara untuk kelompok komorbid, dalam hal ini hipertensi, dapat disuntik vaksin, kecuali jika tekanan darahnya di atas 180/110 MmHg,” ucap Nadia.
Baca juga: Kemenkes Izinkan Penyintas Covid-19 dan Kelompok Komorbid Divaksin
Kelompok komorbid dengan diabetes dapat divaksin sepanjang tidak ada kondisi akut. Bahkan seorang penyandang kanker dan penyandang penyakit autoimun sekalipun bisa. Namun, tindakan itu harus disertai konsultasi dengan dokter yang biasa menangani. Sementara itu, untuk kelompok sasaran tunda, akan diberikan informasi agar datang kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan setelah penyakitnya dapat terkendali.
Untuk mendukung proses vaksinasi, seluruh pos pelayanan vaksinasi dilengkapi kit anafilaksis dan berada di bawah tanggung jawab puskesmas atau rumah sakit. ”Kesiapan pos pelayanan vaksinasi akan sangat berperan dalam meningkatkan kelancaran pelaksanaan vaksinasi dan percepatan peningkatan cakupan vaksinasi Covid-19,” tutur Nadia.
Saksikan video menarik berikut ini:
Credit: Source link