Pengungsian Rohingnya Myanmar
Jakarta – Pengungsi Rohingya di kamp-kamp sementara di Bangladesh selatan sedang mengenang kembali penderitaan mereka pada peringatan satu tahun penindasan brutal Myanmar terhadap kelompok minoritas Muslim di negara bagian Rakhine.
Lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan militer melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada 25 Agustus 2017.
Tindakan keras terhadap warga sipil Rohingya diluncurkan menyusul serangkaian serangan yang diduga dilakukan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di 24 kantor polisi dan pos terdepan di distrik Muangdaw di negara bagian Rakhine utara.
ARSA mengklaim serangan itu sebagai tanggapan atas serangan, pembunuhan dan penjarahan oleh tentara yang dikerahkan ke daerah itu setelah kematian tujuh warga desa pada awal Agustus 2017.
Pemerintah melanjutkan kebrutalannya meskipun ada kekhawatiran dan kecaman dari seluruh dunia.
Operasi militer mengakibatkan warga sipil dibakar hidup-hidup, pembunuhan–termasuk perempuan dan anak-anak–dan menembaki warga sipil yang mencoba melarikan diri ke daerah perbatasan.
Turki adalah salah satu negara pertama yang mengutuk serangan terhadap warga sipil dan menuntut PBB, DK PBB dan masyarakat internasional mengambil tindakan terhadap “pembantaian massal yang memusnahkan” itu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan adalah kepala negara pertama yang mengutuk pembantaian tersebut. Ia menuduh bahwa dunia “buta dan tuli” terhadap situasi di negara bagian Rakhine.
Sehari kemudian, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra`ad al-Hussein meminta Bangladesh membuka perbatasan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak Myanmar untuk memberikan akses ke badan-badan kemanusiaan, menyusul laporan-laporan korban sipil massal setelah serangan oleh pasukan keamanan terhadap Rohingya.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu berjanji untuk mendukung Bangladesh dalam masalah Rohingya dalam aspek bantuan kemanusiaan dan di arena internasional.
Tak lama setelah deklarasi Cavusoglu, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina memerintahkan perbatasannya dibuka untuk Rohingya dan mengerahkan militer untuk memastikan keamanan dan ketertiban di wilayah Cox`s Bazar, tempat Rohingya mengungsi.
Ibu Negara Turki Emine Erdogan mengunjungi pengungsi Rohingya di Bangladesh selatan, menarik perhatian global terhadap penganiayaan di negara bagian Rakhine dan penderitaan pengungsi di kamp-kamp. (aa)
Pada hari yang sama, Badan Kerjasama dan Koordinasi Turki (TIKA) berhasil mendapatkan izin dari Myanmar untuk mendistribusikan 1.000 ton bantuan kepada Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
TIKA juga merupakan lembaga bantuan pertama yang mendistribusikan bantuan kepada pengungsi Rohingya di Cox`s Bazar Bangladesh. Namun, militer Myanmar tidak menghentikan kebrutalannya tetapi malah meningkatkan serangan dengan membakar ratusan desa.
Human Rights Watch yang melakukan analisis foto satelit, menghitung setidaknya 200 desa terbakar dalam serangan tersebut, PBB menyebutnya “contoh buku teks tentang pembersihan etnis.”
Komunitas lokal dan internasional memberikan bantuan kepada para pengungsi karena kisah kebrutalan terhadap Rohingya diungkapkan oleh orang-orang yang baru tiba dari Myanmar.
Turki berada di garis depan dalam isu Rohingya bersama lembaga bantuan kemanusiaan dan organisasi amal nonpemerintah yang disponsori negara, serta di tingkat internasional dengan mengorganisir pertemuan darurat Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan mengadvokasi Rohingya di Majelis Umum PBB.
Mantan Perdana Menteri Turki Binali Yildirim mengunjungi kamp-kamp Rohingya di Cox`s Bazar, membuka sebuah rumah sakit lapangan dengan 50 tempat tidur Desember lalu.
Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian November lalu untuk memfasilitasi pengembalian yang aman warga Rohingya ke negara bagian Rakhine, meskipun ada kekhawatiran tentang keselamatan dan kebebasan dasar mereka dalam kondisi saat ini.
Meskipun proses repatriasi Rohingya belum terlihat permulaannya, kesepakatan bulan November 2017 menjadi perjanjian yang mencatat kesediaan pemerintah Myanmar mengambil kembali warganya.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.
Dalam laporan terbaru yang berjudul `Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira`, OIDA meningkatkan perkiraan jumlah Rohingya yang terbunuh menjadi 23.962, dari angka yang dikeluarkan oleh Doctors Without Borders sebelumnya sebesar 9.400.
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA, menambahkan bahwa 17.718 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar. Lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi sejumlah serangan sejak kekerasan komunal meletus pada 2012 dan menewaskan puluhan jiwa.
PBB mencatat adanya pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak-anak – pemukulan brutal, dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh personel militer.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/39862/Satu-Tahun-Pembantaian-Rohingya/