JawaPos.com – Miris nasib para dokter yang harus gugur satu per satu saat menghadapi pasien Covid-19. Tak hanya tertular, mereka juga kelelahan. Jumlah dokter yang semakin menipis tersebut membuat tenaga kesehatan lain kian kewalahan menangani lonjakan pasien.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB menjelaskan, burnout atau kelelahan yang dialami para dokter dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurutnya, para dokter bisa tertular atau terinfeksi karena 3 hal.
“Pertama yakni jumlah virus atau transmisi lokal dan antar manusia cukup tinggi di masyarakat kita. Kedua adalah lingkungan, ventilasi yang tak baik dan sebagainya. Ketiga, adalah daya tahan tubuh,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (4/9).
Menurut Ari, kelelahan di tempat bekerja juga dipengaruhi oleh faktor stres. Lalu semakin parah jika berhubungan dengan penyakit komorbid.
“Memang komorbid itu faktor juga, tapi yang utama itu adalah kelelahan. Banyak dokter kami, alumni kami yang selama ini sehat, tetapi menjadi korban. Situasi ini begitu merisaukan kami semua kalangan medis,” jelasnya.
Ari menjelaskan, kehilangan satu orang dokter efeknya tidak sama seperti ketika sebuah rumah sakit kehabisan obat. Ketika rumah sakit atau pasien kekurangan alat medis dan obat, rumah sakit masih bisa mengimpor dari negara lain. Akan tetapi jika sudah kekurangan dokter dan tenaga kesehatan, butuh waktu sangat lama untuk ‘melahirkan’ yang baru.
“Ada juga yang bilang kami ini penjaga terakhir. Ada 105 dokter meninggal dan tiap hari 1 dokter. Tentu masalah SDM jadi masalah buat kita. Sebab butuh bertahun-tahun produksi satu dokter. Harus belasan tahun untuk menghasilkan dokter. Sekolahnya 5,5 tahun, belum internship, lalu ambil spesialis, bisa 11 tahun. Negara sudah butuh dokter,” tukasnya.
Menurut Ari, harus ada pengaturan beban kerja buat para dokter. Bukan hanya jumlah dokter yang ditambah, tetapi yang menjadi catatan adalah jumlah kasus yang harus dikurangi. Masyarakat diminta sadar untuk tidak abai protokol kesehatan.
“Yang penting juga jumlah kasus harus dikurangi. Bagaimana pencegahan harus intensif dilakukan. Masif dilakukan. Jumlah kami makin terbatas, ini lebih parah dari Maret dan April situasinya,” jelasnya.
Editor : Banu Adikara
Reporter : Marieska Harya Virdhani
Credit: Source link