Jokowi dan Kaesang Pangarep.
Polisi akhirnya tidak memproses Kaesang putra Presiden Jokowi yang dilaporkan melakukan ujaran kebencian karena ucapan “wong ndeso” di Vlog-nya.
Karena yang dilaporkan adalah sosok istimewa, maka yang mengumumkan penghentian kasus tersebut juga sosok yang istimewa pula. Untuk kasus yang sebenarnya biasa-biasa saja itu, Wakapolri Komjen Pol Syafruddin perlu turun tangan sendiri untuk menyampaikan kepada publik.
Keputusan Polri untuk menolak menindaklanjuti laporan atas Kaesang patut diapresiasi dan disyukuri. Setidaknya dengan dua alasan.
Pertama, sikap Polri bisa menjadi semacam preseden, “jurisprudensi” bila ada kasus serupa yang kebetulan pelakunya bukan anak presiden, atau sebaliknya ada yang menyampaikan ujaran yang sama kepada anak presiden, atau mungkin terhadap presiden sendiri, Polri juga tidak perlu memprosesnya dan harus dengan sigap pula untuk menolak dan menghentikannya.
Polri harus bertindak imparsial, adil. Jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jangan seperti sarang laba-laba yang hanya bisa menjaring binatang kecil, tapi bobol setiap kali berhadapan dengan ‘benda” yang besar.
Kedua, Polri tak akan kebanjiran kasus-kasus yang masuk dalam kriteria ecek-ecek.
Kasus ujaran, umpatan atau makian semacam itu, sebaiknya cukup diselesaikan antar-rukun tetangga (RT) atau paling tinggi antar-rukun warga (RW).
Meminjam istilah mantan Komandan Korps Marinir Letjen TNI (Purn) Suharto Polri kini sudah over-loaded, kebanyakan beban kerja.
Mulai dari urusan keamanan dan ketertiban masyarakat (kambtibmas), lalu lintas, SIM, STNK, penanganan kriminalitas,human trafficking, kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), narkoba, kejahatan antar-negara, terorisme, urusan ulama yang dianggap makar, sampai rencananya juga akan ditugasi mengurus tindak pidana korupsi.
Lha kalau setiap kali ada yang merasa dihina, terhina, dinistakan, dilecehkan atau perbuatan apapun yang tidak menyenangkan, semua dilaporkan polisi, kapan polisi istirahatnya?
Polisi kan juga manusia biasa. Dia bukan superman. Ada capeknya, ada kesalnya, ada rasa kemanusiaannya yang kadang sering berpihak. Ada takutnya pula kalau harus berhadapan dengan pihak yang lebih berkuasa. Kasihanilah polisi.
Walaupun tidak jadi diproses polisi, pelaporan tersebut sebenarnya ada hikmahnya juga. Mulai sekarang walaupun maksudnya hanya bercanda, jangan gampang mengumpat, memaki, menghina, apalagi di sosial media.
Banyak yang tidak sadar dampak besar dari sosial media. Seakan hanya iseng, tapi pesannya bisa sampai kemana-mana. Bukan hanya Indonesia, tapi bisa se-dunia. Apalagi bila pelakunya anak seorang presiden. Dari sisi media masuk dalam kriteria “sangat layak” berita. Jadi bisa digoreng kemana-mana.
Memang begitulah nasib anak seorang presiden. Ada enak dan ada tidak enaknya. Walaupun kalau ditimbang-timbang pasti lebih banyak enaknya.
Sebagai respon ucapan dasar wong ndeso di sosial media, muncul berbagai meme. Salah satu yang menggelitik adalah “ndeso itu kalau berpergian ke luar negeri pakai uang negara.”
Maksud meme itu jelas menyindir anak-anak Presiden Jokowi, termasuk Kaesang yang beberapa kali kedapatan ikut dalam kunjungan kenegaraan ke beberapa negara.
Media pernah menyoal ke Wapres Jusuf Kalla, apa tugas mereka, sehingga harus ikut serta. Jawabannya ringan saja “mereka melayani Bapaknya.” Jawaban yang terkesan asal. Bukankah Presiden sudah dilengkapi dengan petugas protokol dan rumah tangga?
Tapi begitulah nasib anak presiden. Selain berbagai keistimewaan, mereka juga menanggung beban yang berat. Mereka tidak boleh bersikap, bertindak dan berucap sembarangan.
Bila mereka salah bertindak dan berucap, Bapaknya ikut terbawa-bawa. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah “Anak polah, Bopo kepradah,” apapun yang dilakukan seorang anak, akan berimbas kepada bapaknya.
Wong ndeso, wong dusun, udik, kampungan
Kembali soal frasa “dasar wong ndeso.” Apakah ucapan ini berupa umpatan, makian, hinaan, atau candaan bersahabat? Frasa ini biasanya banyak digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya daerah Mataraman (Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kediri, Blitar, Trenggalek, Pacitan Dll).
Di Jakarta kita sering dengan istilah “dasar kampungan.” Di wilayah dengan kultur Melayu dikenal istilah “orang udik,”. Sementara di Sumatera Selatan istilahnya “wong dusun.”
Frasa itu biasanya digunakan untuk menggambarkan kerendahan hati, bila itu menyangkut diri sendiri. Misalnya “mohon maaf saya wong ndeso, wong dusun, tidak ngerti apa-apa.”
Bila disampaikan kepada teman, sahabat, itu hanya sekedar ledekan, candaan biasa. Tidak ada maksud jahat atau menghina. Sementara bila diungkapkan kepada orang yang tidak dikenal, apalagi dengan penekanan dan ucapan yang rada keras, itu bisa diartikan sebagai umpatan, hinaan, makian.
Orang udik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya orang bodoh yang tidak tahu sopan santun.
Umpatan kepada orang lain dengan frasa “dasar wong ndeso, kampungan, orang udik, wong dusun,” bisa juga dimaknai sebagai sikap tinggi hati, sombong, merasa diri lebih hebat, menganggap orang lain lebih rendah.
Sebaliknya ungkapan yang berkaitan dengan orang kota, wong kutho diiringi sebagai sebuah permakluman. Misalnya ada anak kota yang datang ke desa dan bertingkah laku tidak pada tempatnya, maka ucapan yang muncul adalah “yah maklum saja, namanya orang kota.” Nah jadi siapa sebenarnya yang lebih berbudi luhur. Orang kota atau orang desa? Wong ndeso, apa wong kutho?”
Bagi Anda yang kebetulan tinggal di desa atau jadi wong ndeso, tidak perlu kecil hati. Kabar baiknya semua presiden kita asalnya, atau setidaknya asal usul leluhurnya berasal dari desa.
Presiden Soekarno orang tuanya, atau setidaknya kakeknya pasti dari desa. Presiden Soeharto jelas anak dari Desa Kemusuk di Jogjakarta.
Presiden BJ Habibie yang banyak menghabiskan masa mudanya di Jerman pasti kakeknya juga berasal dari desa di Gorontalo sana.
Presiden Abdurrahman Wahid kakeknya juga berasal dari desa di Jombang. Presiden Megawati anak kota, tapi kakek atau kakek buyutnya orang desa.
Presiden SBY tidak pernah menutup-nutupi asalnya dari desa Tremas, Arjosari, Pacitan.
Bagaimana dengan Presiden Jokowi? Beliau berasal dari Desa Kragan, Karang Anyar, Jawa Tengah. Jadi bisa dipastikan Jokowi adalah wong ndeso juga, tapi kemudian tumbuh dan besar di kota Solo.
Para presiden yang asalnya dari desa tadi adalah contoh wong ndeso yang berhasil melakukan mobilitas vertikal, sampai puncak yang tertinggi dalam piramida bangsa.
Jadi Kaesang walaupun dia anak kota, pernah sekolah di luar negeri, tapi dia tetap anak wong ndeso. Menghina wong ndeso, sama saja menghina asal usul bapaknya! Kalau saja Kaesang sampai berani menghina asal-usul bapaknya, dia bakal jadi anak durhaka!
Sesama wong ndeso, atau setidaknya sesama anak wong ndeso, jangan sampai saling mencela. Tirulah semboyan yang banyak ditulis di belakang bus kota “Sesama bus kota, jangan saling mendahului.”
*Konsultan Media dan Politik
TAGS : Wong ndeso hersubeno arief sosmed kaesang pangarep
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/18477/Sesama-Wong-Ndeso-Jangan-Saling-Mencela/