Ilustrasi gajah (foto: NBC)
Jakarta, Jurnas.com – Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Protection of Forest & Fauna (Profauna) mendesak Presiden Joko Widodo supaya lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa.
Komitmen dan semangat pemerintahan sebelumnya yang dimulai sejak era Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, dinilai perlu dilanjutkan dengan upaya konkret yang faktual saat ini.
Ketua Profauna Rosek Nursahid menjelaskan, permasalahan perlindungan satwa memang terus berkembang dan makin membutuhkan perhatian khusus.
“Lihat saja perburuan, penangkapan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi makin masif. Ini mengancam ekosistem flora dan fauna yang menjadi perhatian global,” kata Rosek pada Sabtu (16/11).
Menurut dia, isu-isu perburuan dan perdagangan satwa makin menunjukkan kondisi yang sudah kritis. Sebagai contoh, lanjut Rosek, beberapa jenis burung tertentu hampir punah karena kurangnya perhatian dari pemerintah.
Komitmen pemerintah melindungi satwa sudah menjadi perhatian khusus di zaman Presiden Soeharto, melalui Keppres Nomor 4 Tahun 1993.
Dalam keppres itu disebutkan tiga satwa yang dinyatakan sebagai satwa nasional yakni Komodo, Ikan Siluk Merah, dan Elang Jawa. Juga, dalam keppres tersebut dinyatakan bunga nasional yakni Melati, Anggrek Bulan, dan Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldi).
Keppres yang ditetapkan pada 9 Januari 1993 dan ditandatangani langsung oleh Soeharto itu memiliki andil besar membawa nama satwa Komodo dan bunga Rafflesia Arnoldi, hingga terkenal seperti sekarang.
“Seiring perkembangan zaman, tantangan untuk melindungi satwa dan fauna juga bergeser,” papar dia.
Rosek menilai jika dahulu tantangan di era orba adalah regulasi, maka sekarang tantangannya berupa implementasi penegakan hukum di lapangan.
Menurut dia, ada banyak kasus yang disidangkan di pengadilan justru dijerat dengan hukuman minimal.
“Hal ini karena aturan kita mengatur hukuman maksimal, sehingga faktanya berbeda di lapangan,” tegas dia.
Karena itu, Rosek mendesak pemerintah segera membuat regulasi baru yang mengatur hukuman minimal, serta menekankan pada perlindungan satwa.
“Kami dari Profauna mendesak adanya regulasi tentang hukuman minimal dua tahun untuk orang yang terbukti melakukan perburuan, penangkapan, serta perdagangan satwa yang dilindungi,” sebut Rosek.
Sementara mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan di era Orde Baru, Emil Salim, pernah mengisahkan perlakuan penguasa terhadap binatang.
Dalam bukunya berjudul “Pak Harto The Untold Stories”, Emil mengisahkan tentang Presiden Soeharto yang pernah menggiring kawanan gajah agar masuk kembali ke dalam hutan.
Saat itu, Emil tiba-tiba mendapatkan telepon dari Palembang. Isi telepon tersebut menyatakan, para tentara yang ada di sana sedang bersiap-siap hendak menembak rombongan gajah yang mengamuk.
Kawanan gajah merusak kebun-kebun sebuah desa transmigrasi yang baru saja didirikan. Mendapatkan laporan itu, Emil lantas mempelajarinya.
Ternyata gajah-gajah yang hidup di hutan pedalaman Sumatera itu memang memiliki ritual, yaitu pergi ke laut setahun sekali untuk memperoleh garam. Jalan yang harus mereka lalui selalu sama. Sayangnya, jalan tersebut belakangan digunakan untuk membuat kebun, dan hal itu tidak diketahui oleh Dinas Transmigrasi saat itu. Penduduk yang ketakutan itu kemudian meminta bantuan para tentara.
Emil Salim segera melaporkan peristiwa itu kepada Presiden Soeharto dan Panglima ABRI saat itu Jenderal TNI Try Sutrisno. Pak Harto tegas melarang para tentara menembaki gajah-gajah tersebut.
Ia malah meminta para anggota TNI agar menggiring gajah masuk hutan lagi melalui jalan lain yang tak melintasi desa. “Pak Harto menyarankan digunakannya perangkat bunyi-bunyian seperti terompet, kayu yang dipukul-pukul, kentongan dan sebagainya untuk menggiring gajah,” ujar Emil.
Para anggota TNI segera melaksanakannya. Saran itu ternyata membuahkan hasil. Gajah-gajah itu bisa kembali hutan. Saat gajah-gajah itu mendekati habitatnya, para anggota TNI yang mengawalnya sampai menitikkan air matanya.
Gajah-gajah itu berjalan dalam formasi. Gajah-gajah betina berjalan di depan dan di belakang, anak-anak gajah berjalan terlindung di tengah-tengah rombongan.
“Gajah-gajah jantan dewasa berjalan mondar-mandir ke depan dan ke belakang untuk mengawal seluruh rombongan mereka,” lanjut dia.
Presiden Soeharto pun tampak senang mendapatkan kabar itu lantas mengundang para tentara tersebut ke Bina Graha.
“Pak Harto menyalami mereka satu persatu, termasuk yang pangkatnya terendah sekali pun, mengucapkan langsung terima kasihnya untuk tugas yang tak biasa itu,” tandas Emil.
TAGS : Soeharto Perlindungan Satwa Joko Widodo
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/62513/Soal-Perlindungan-Satwa-Jokowi-Sebaiknya-Tiru-Soeharto/