Stop Menampilkan Foto Korban, Cukup Kendaraan yang Terlibat

Di era digital sekarang, warganet berlomba-lomba membagikan informasi. Informasi yang disampaikan tidak jarang membantu petugas mengetahui sebuah kejadian. Termasuk kecelakaan lalu lintas. Namun, penerapannya tentu memiliki aturan. Jangan sampai niat menyampaikan informasi justru menimbulkan polemik.

DIBUTUHKAN kesadaran yang lebih luas di masyarakat agar ketika membagikan sesuatu di media sosial itu tidak dipicu rasa penasaran. Dan, harus dipastikan validitasnya. Kasatlantas Polrestabes Surabaya AKBP Arif Fazlurrahman mengingatkan, sebelum membuat unggahan, pastikan mengantongi data yang valid. ’’Di antaranya, lokasi kecelakaan dan waktu kejadian,’’ ujarnya. Jadi, tidak sekadar meneruskan informasi yang asalnya belum jelas.

Restia Moegiono, praktisi keamanan siber dan pegiat literasi digital, menambahkan, cukup informasi seputar siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kecelakaan terjadi. Jika memang memiliki foto atau video terjadinya kecelakaan, sebaiknya cukup berhenti di diri sendiri, tidak perlu disebarluaskan. Kecuali, informasi diberikan kepada pihak berwajib.

Stop Menampilkan Foto Korban

Menginformasikan adanya kecelakaan di media sosial tidak harus dengan menampilkan foto korban. ’’Gambar kendaraan saja sudah cukup,’’ kata AKBP Arif. Ingat, korban punya keluarga. Bersikaplah yang bijak untuk menjaga perasaan mereka.

Tidak ada urgensi dan relevansinya bagi masyarakat untuk share foto korban kecelakaan di media sosial. Hanya akan menimbulkan kegaduhan dan trauma bagi keluarga korban. ’’Mengetahui informasi seputar kecelakaan sudah lebih dari cukup tanpa harus mencari atau membagikan foto korban,’’ papar Restia.

Hindari Visual Sensitif

Insiden kecelakaan tidak jarang menimbulkan pemandangan sensitif. Misalnya, darah yang terlihat di lokasi kejadian. Kondisinya tentu tidak elok untuk ditampilkan. Bahkan, mungkin sangat mengganggu yang melihat unggahan.

Hormati Hak dan Privasi

Meskipun luka korban yang mengalami kecelakaan tidak terlalu parah. Namun, tidak berarti netizen bisa memotret dan bebas mengunggahnya di media sosial. Hormati hak mereka. ’’Apalagi kalau foto yang ditampilkan menunjukkan bagian tubuh yang tidak seharusnya dilihat banyak orang,’’ papar AKBP Arif. Misalnya, gambar saat korban dievakuasi dan bajunya sedikit terbuka.

Ketika membagikan sesuatu itu, dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan. Pada korban selamat sekalipun, mungkin tidak bisa dimintai keterangan saat itu juga. Artinya, kita menyebarkan foto atau video korban tanpa izin. ’’Ketika kondisi korban sudah sadar dan membaik, bisa jadi korban menganggap itu sebagai privasi,’’ ujar Restia. Pelanggaran privasi juga bisa dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan.

Hal itu berlaku pula pada korban yang meninggal di tempat. Kita harus ingat ada keluarga yang ditinggalkan. Bayangkan bagaimana perasaan keluarga korban setiap melihat foto atau video korban di media sosial. Tentu sedih dan terpukul.

Hindari Disinformasi, Blur Foto/Video yang Tidak Elok

Ketika masyarakat membuat konten sendiri, rentan terjadi disinformasi. Sebab, kemungkinan masyarakat itu bukan orang pertama yang mengetahui informasi tentang kecelakaan dari sumber pertama. Selain itu, tidak ada urgensinya untuk sharing foto atau video kecelakaan. Cukup informasinya.

Etikanya mungkin mengeblur foto atau video bisa menghasilkan sedikit kepantasan. Ingat, tanpa menampilkan korban, cukup kendaraan yang terlibat. ’’Namun, kembali lagi, seseorang tidak memiliki hak mendistribusikan foto kecelakaan di media sosial,’’ pesan Restia. Netizen cukup share link berita dari media massa yang kredibel. Sebab, media massa punya etika jurnalistik sehingga kontennya bisa dipertanggungjawabkan.


Credit: Source link