Di era digital, semua orang punya kebebasan menampilkan citra diri hingga menyampaikan pendapat. Sebab, media sosial itu ruang berekspresi. Namun, harus hati-hati dalam menggunakannya. Kualitas diri kita bisa dilihat dari sana. Lantas, bagaimana membangun personal branding yang baik lewat medsos dan terhindar dari pencitraan semu?
—
MEDIA sosial merupakan dunia tanpa batas. Semua orang terkoneksi. Ini juga bisa menjadi tools terbaik untuk promosi diri. Sayangnya, banyak orang yang tidak menggunakannya secara mindful. Tidak memiliki kesadaran terkait norma dan etika sesuai kultur budaya kita. Akhirnya semua orang hanya berlomba-lomba mejeng, menampilkan diri, dan menjauhkan dari authenticity.
Personal Branding vs Pencitraan
Esensi personal branding dan pencitraan itu sama. Kata pencitraan kemudian menjadi negatif karena digunakan politikus untuk menjauhkan realitas mereka. Sebenarnya kata pencitraan itu melambangkan bahwa tidak ada satu pun orang yang mau kelihatan jelek. Ini kan manusiawi. Kita tidak perlu menampilkan kejelekan ke semua orang. Namun, karena dengan pencitraan itu bisa menjauhkan dari sebuah realitas, akhirnya ”menghalalkan” berbagai cara.
Sementara itu, personal branding terkait cara seseorang menampilkan citra dirinya secara sadar maupun tidak sadar di depan publik. Di dalam kata personal branding ada integrity, keahlian, perilaku, cara berpenampilan, dan otentisitas setiap orang yang perlu ditampilkan. Media sosial, jika digunakan dengan benar, akan meningkatkan brand positioning dan value proposition kita. Serta, sharing knowledge kepada orang lain.
Fenomena Virtual Fog
Sekali lagi, media sosial adalah ruang bebas. Namun, sebebas-bebasnya kita, perlu ada awareness. Branding yang mau kita bawa itu sejatinya lebih banyak mengandung unsur authenticity. Bukannya apa yang mau kita citrakan.
Otentiknya jangan sampai hilang. Jangan ikut-ikutan orang saja, bahkan berkebalikan dengan diri kita di dunia nyata. Misal, otentiknya 80 persen, 20 persennya apa yang mau dibuat itu masih tidak apa-apa.
Ketika kita tidak memiliki kemampuan berpikir menggunakan logika, kita akan mudah ikut-ikutan. Akhirnya semakin jauh dari orisinalitas diri. Jadi, semua yang ditampilkan palsu. Muncullah fenomena virtual fog atau pencitraan semu.
Saya melihat itu bebas saja. Toh, itu akan menunjukkan kualitas isi kepala orang. Bagaimana menampilkan diri itu kembali ke kita masing-masing. Ada kesadaran dan ketidaksadaran. Ketidaksadaran dilakukan oleh mereka yang tidak punya kemampuan mengurasi kontennya. Mereka kemudian tanpa sadar menjadi iri melihat posting-an orang lain sehingga ikut-ikutan.
Membangun Personal Branding yang Baik di Medsos
Pertama, gali dulu apa yang jadi tujuan kita punya media sosial. Kita tidak perlu mencari sosial validasi dari orang lain. Jadilah otentik dan trust yourself. Cari dan kembangkan kualitas dirimu. Kedua, berpikir dari sudut pandang content benefit yang mau kita bagi ke orang lain.
Berikan contoh konkret yang relevan. Hindari copy paste orang lain. Alih-alih melakukan pembenahan personal development, setiap hari sibuk memikirkan konten karena melihat orang lain. Lakukan observasi, belajar lagi, dan asah kemampuan berpikir kritis.
Belum lama ini kita tahu banyak influencer atau key opinion leader yang kemudian dihujat karena ternyata mereka hanya jualan produk, tapi tidak menggunakan produk itu. Saat ini semua orang sudah pintar.
Sudah tahu bahwa itu hanya rekayasa untuk kepentingan promosi. Saya pribadi memilih tidak di jalur itu. Tapi, balik lagi ke masing-masing orang. Karena itu, penting untuk punya kesadaran dan paham etikanya seperti apa.
*) ERWIN PARENGKUAN, Founder and CEO of Talkinc
Credit: Source link