JawaPos.com – Aturan baru Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal penyederhanaan mekanisme pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) penjualan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer saat ini ramai diperbincangkan. Banyak masyarakat yang cemas kebijakan tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumen. Apalagi, banyak pemberitaan yang menyebut seolah ada pajak-pajak baru yang dikenakan dalam transaksi pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan, banyak pihak yang salah memahami soal kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tersebut. Ia meminta, masyarakat tidak perlu terkejut.
Sebab intinya, aturan ini hanya bertujuan untuk menyederhanakan pengenaan PPN dan PPh atas pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucer serta memberi kepastian hukum. Yustinus menjelaskan bahwa pajak terhadap jasa telekomunikasi sudah berlaku sejak diterbitkannya PP 28/1988 yang ditegaskan dengan SE-48/PJ.31988 tentang Pengenaan PPN Jasa Telekomunikasi.
Dengan aturan itu, PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucer pulsa dan pulsa elektrik telah dikenai pajak. Perusahaan provider telekomunikasi wajib membayar pajak pulsa tersebut. Mekanismenya normal.
“PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, yang disetor selisihnya,” ucapnya melalui Twitter, Sabtu (30/1).
baca juga: Tak Ada Pajak Baru untuk Pulsa, Kartu Perdana, Token Listrik, Voucer
Yustinus mengaku, pemberlakuan kebijakan di lapangan menimbulkan sejumlah masalah. Sebab, distributor dan pengecer menengah dan kecil -sebagai bagian mata rantai jasa telekomunikasi- kesulitan menjalankan kewajiban pajak karena secara administrasi belum mampu.
Hal itu telah menyebabkan perselisihan tak terhindarkan dan berakibat ketidakpastian. Dengan demikian, Kementerian Keuangan merilis PMK 6/PMK.03/2021 untuk memberikan kepastian.
“Intinya memberi kepastian status pulsa sebagai barang kena pajak agar seragam karena dipahami sebagai jasa. Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan distributor besar. Sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa,” jelasnya.
Lebih jauh Prastowo menambahkan, PPN adalah pajak atas konsumsi barang atau jasa. Sehingga menurut Undang-undang, penjual barang atau jasa wajib membayar pajak tersebut. Itulah alasan PPN disebut pajak objektif karena yang dikenai objeknya yaitu konsumen.
“Disebut juga pajak tidak langsung karena sasarannya konsumen barang atau jasa, tetapi pemungutannya melalui pengusaha di tiap mata rantai,” pungkasnya.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link