JAKARTA, BALIPOST.com – Konsep Dharma Negara yang tercantum dalam Piagam Campuan pada tahun 1961, perlu rekonseptualisasi. Ini, untuk menjawab relasi Negara dengan umat Hindu dalam konteks kekinian. Hal itu disampaikan oleh AAGN Ari Dwipayana, Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP Prajaniti Pusat dalam Webinar yang dilaksanakan DPD Prajaniti Jawa Barat, Sabtu (7/8).
Selain Ari Dwipayana, Webinar ini juga menghadirkan, Dr.I Dewa Gede Palguna, sebagai Pembicara, dan diawali sambutan Ketua DPD Prajaniti Prov Jawa Barat, Prof. I Ketut Adnyana.
Lebih jauh Koordinator Staf Khusus Presiden itu menyatakan, bahwa dalam relasi antara umat Hindu dengan Negara sangat dinamis. Pascakemerdekaan, umat Hindu terlibat dalam perjuangan yang panjang untuk mendapatkan pengakuan resmi dari negara.
Akhirnya perjuangan itu berhasil, ketika pada 5 September 1958, Menteri Agama memutuskan untuk membentuk Bagian Hindu Bali di Kementerian Agama RI. Pengakuan negara atas agama Hindu, sangat membantu peningkatan kepercayaan diri umat Hindu, terutama umat Hindu di luar Bali, untuk menyatakan dirinya sebagai Hindu.
Mengingat sebelumnya di era tahun 1960 masih dijumpai semacam ketakutan untuk menampilkan identitas sebagai umat Hindu secara terbuka. Namun, Ari mengingatkan bahwa pengakuan negara atas agama Hindu bukan sebuah titik akhir.
Dalam konteks kekinian, relasi negara dengan umat Hindu memiliki sejumlah tantangan. Tantangan pertama, umat Hindu dihadapkan pada hadirnya fenomena politik identitas di ranah lokal.
Pasca 1999, terjadinya pergeseran lokus kekuasaan dari Jakarta ke daerah yang memicu pengentalan politik identitas yang berbasis suku dan agama. Sentimen agama dan etnis seringkali dimunculkan dalam momen-momen politik elektoral, seperti pemilu dan pilkada.
Hal itu menjadi titik masuk untuk merebut kepemimpinan lokal, yang setelah terpilih seringkali mengeluarkan kebijakan yang ekslusif- primordialis. Inilah tantangan diaspora Hindu yang tersebar di berbagai daerah di luar Bali.
Tantangan kedua menurut Ari adalah merebaknya sikap intoleransi dalam kehidupan kewargaan, termasuk di kalangan kelas menengah dan kalangan milenial. Sikap intoleransi nampak dari keengganan sebagian warga untuk bertetangga dengan warga beda agama.
Sikap penolakan pendirian tempat ibadah agama lain di lingkungannya, serta penolakan terhadap pemimpin yang berbeda agama. Ari melanjutkan dengan memaparkan tantangan ketiga dari umat Hindu adalah merebaknya Hoax yang memecah belah bangsa. Menguatnya intoleransi semakin diperparah dengan adanya politik post-truth yang sering dikontruksi untuk kepentingan politik.
Sejak tahun 2000-an mulai merebak semburan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian yang muncul kepermukaan melalui media social. Post-truth menjadi berbahaya karena bukan hanya menimbulkan disintegrasi sosial, tapi juga bertujuan menebar ketakutan atau ketidakamanan yang merebak sampai ke ruang-ruang privat warga.
Dalam merespon politik kekinian itu, Ari Dwipayana, yang juga Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, dalam rilisnya, menyebutkan keharusan umat Hindu untuk menjaga common platform yang menjadi konsensus kebangsaan: NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Karena itu, umat Hindu harus mengambil bagian dari gerakan citizenship untuk memperjuangkan penegakan konstitusi dan demokrasi. Itu artinya umat Hindu perlu berjuang, menjaga dan mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan beragama dan beribadah yang sudah dijamin oleh Konstitusi.
Selain itu, umat Hindu bersama berbagai elemen bangsa yang lain juga harus ikut memperjuangkan kesetaraan hak sebagai warga negara, yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Perlu ada upaya advokasi kalau ada kebijakan negara di tingkat nasional maupun lokal yang diskriminatif. Tentunya dengan tetap mengedepankan cara-cara demokratis, dan dilakukan dengan tanpa kekerasan, tegas Ari. (kmb/balipost)
Credit: Source link