JawaPos.com – Kekhusyukan umat Muslim menjalani ibadah Ramadan terganggu dengan sejumlah godaan. Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) menyoroti adanya tayangan atau konten bermuatan unsur pornografi selama bulan suci.
Direktur Eksekutif YKMI Ahmad Himawan menyebut konten berbau pornografi dan pornoaksi beredar tidak terkendali di media televisi dan media sosial. “Tapi tidak ada tindakan apa pun atas hal tersebut,” tegas Ahmad Himawan kepada JawaPos.com, Sabtu (30/4).
Dia mencatat ada sejumlah tayangan di televisi masih menampilkan hal-hal berbau pornografi secara gamblang. Namun tayangan itu tidak mendapat tindakan dari lembaga terkait, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Kami memiliki catatan tentang sejumlah tayangan di media televisi yang beredar luas di masyarakat, yang berbau pelanggaran atas UU pornografi dan melanggar Fatwa MUI tentang Pornografi dan Pornoaksi,” sebut Ahmad Himawan.
Paling parah lagi, imbuhnya, konten yang mengandung pornografi dan pornoaksi itu beredar bebas di media sosial (medsos). “Kalau dibiarkan bisa merugikan moral bangsa Indonesia dan umat Islam,” katanya.
Adapun fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi menegaskan tentang defenisi perilaku pornografi dan pornoaksi yang diharamkan dalam Islam.
“Fatwa MUI telah memberikan status haram pada berbagai perilaku pornografi dan pornoaksi, yang menjadi rekomendasi bagi instansi terkait, tapi masih tidak diindahkan,” ujarnya lagi.
Himawan melihat ada ketidaksingkronan antara UU Nomor 44 Tahun 2008 dan Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001. Kedua regulasi itu sama-sama mengatur soal pornografi dan pornoaksi.
“Perbedaannya sangat besar sekali, terutama dalam mendefisinasikan tentang pornografi,’ ini berdampak pada merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia,” tegasnya.
Dalam UU Pornografi, ujarnya, defenisi pornografi sangat sempit hanya sebatas pada perilaku yang bersifat seksualitas atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. “Ini tafsirnya sangat sempit sekali, karena pornografi dimaknai sebatas urusan yang berbau dengan alat kelamin dan seksualitas belaka,” tegasnya.
Sementara itu, merujuk Fatwa MUI tahun 2001 tersebut, defenisi pornografi sangat luas, sehingga banyak sekali pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas pelanggarannya. “Perlu ada sinkronisasi defenisi Pornografi dalam UU di Indonesia, agar tidak merugikan umat Islam,” paparnya lagi.
YKMI, ujarnya, kedepan akan melakukan penelitian, dan Langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk melakukan sinkronisasi defenisi pornografi tersebut agar tidak merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia.
Credit: Source link