JawaPos.com – Semua dimulai pada pesta malam penuh dengan keliaran di rumah milik seorang eksekutif Kinoscope Studios pada 1926. Ada Manny Torres (Diego Calva), seorang imigran asal Meksiko, bekerja sebagai pelayan serba-bisa di pesta itu. Dia segera jatuh cinta dengan Nellie LaRoy (Margot Robbie), orang dari kalangan biasa dari New Jersey, yang percaya dirinya akan menjadi bintang film.
Di sudut lain di tengah hiruk-pikuk pesta, Jack Conrad (Brad Pitt) disegani oleh para hadirin. Semua orang tahu siapa itu Conrad, seorang bintang film di era film bisu (tanpa dialog) saat itu yang telah mencetak banyak uang berkat kesuksesannya.
Lady Fay Zhu (Li Jun Li), penghibur berdarah China-Amerika, penampilannya senantiasa memikat para hadirin yang gila pesta. Di sisi panggung kecil, permainan terompet jazz dari pemusik kulit hitam Sidney Palmer (Jovan Adepo) juga selalu mengiringi suasana pesta yang riuh dan banal walau peran dia tak begitu dilirik hadirin––sebelum akhirnya bakat Palmer “ditemukan” oleh Manny.
Yang menarik, ada pula kolumnis Elinor St. John (Jean Smart). Yang walaupun agak nyentrik di awal kemunculannya, karakter ini penting menjelang pertengahan cerita. Sebagaimana para kritikus atau jurnalis film di era sekarang, begitu pula peran Elinor pada masa itu––dialah yang mengamati naik-turun dunia Hollywood di balik tulisan-tulisannya.
Sutradara Damien Chazelle menempatkan karakter-karakter fiktif itu sebagai representasi dari tokoh-tokoh besar yang pernah menghidupi Hollywood pada masanya. Walau beberapa tokoh asli juga dimunculkan seperti Irving Thalberg (Max Minghella), seorang produser yang jaya lewat rumah produksi Metro-Goldwyn-Mayer (MGM).
Ini menarik ,sebab kita bisa menilik dinamika industri Hollywood yang sebetulnya tak hanya diisi oleh orang-orang Amerika “tulen” kulit putih saja. Apalagi, kalau melihat lebih jauh, para figuran dalam set film Conrad yang berperan sebagai pasukan perang pun punya andil penting walau mereka dibayar rendah dan mendapat makan siang tak layak. Termasuk juga lika-liku para kru film yang bekerja untuk Kinoscope Studios dan MGM.
Lantai pesta dan arena syuting menjadi wahana bagaimana kultur perfilman terbentur dan terbentuk. Dua set dalam film “Babylon” ini secara gamblang sekaligus rumit menampilkan transisi zaman lengkap dengan “moral” masyarakatnya.
Di lantai pesta era 1920-an, mereka begitu banal atau jika bisa disebut tampil dan bertutur tanpa sekat moralitas. Publik tak begitu peduli, malah justru mengidolakan bintang Nellie LaRoy yang tampil sensual dan bicara kasar penuh makian. Sedangkan di lantai pesta era 1930-an, Nellie LaRoy memaksa diri untuk mengikuti kemauan publik untuk tampil lebih “bermartabat” dengan pakaian dan gaya bertutur yang lebih sopan layaknya bangsawan Prancis. Tetapi hal inilah yang membuat Nellie LaRoy muak, sebab kultur kelas atas Prancis hanya topeng untuk menutupi moralitas.
Nellie LaRoy adalah salah satu contoh bintang film yang dituntut harus memermak citra di era transisi Hollywood agar bisa mempertahankan kariernya dan diterima masyarakat. Sementara di sisi lain, Conrad tampaknya tak begitu kesulitan menyesuaikan diri saat berpindah dari satu lantai pesta ke pesta yang lain. Namun aktor itu segera menyadari kariernya berada di ujung tanduk saat dia hanya dibutuhkan untuk film-film beranggaran rendah saat memasuki era film berbicara.
Nellie LaRoy dan Conrad punya kesamaan. Sebagai bintang yang lahir dari film bisu, mereka bergelut dan mencoba beradaptasi dengan revolusi Hollywood yang bergerak dengan cepat. Mereka mungkin tak menyadari bahwa nama-nama besar lain akan bermunculan. Sebut saja Manny yang berhasil menemukan peluang di antara perubahan itu, bahkan juga berusaha untuk mendongkrak kembali citra Nellie LaRoy walaupun tak berhasil.
Siapa sangka Manny bisa menjadi sutradara yang sukses lewat rumah produksi MGM. Dia jugalah yang mengangkat karier Palmer yang semula hanya figuran di antara pemusik kulit hitam lainnya. Sayangnya, Manny, sebagai sesama minoritas di Hollywood, tak mampu mengelak dari “kemauan” kultur masyarakat yang masih memandang sebelah mata orang kulit hitam, terlepas seberbakat apa pun Palmer.
Beralih ke arena syuting, terlihat jelas bagaimana lokasi dan penataan set hingga penggunaan teknologi kamera dan suara dengan cepat berubah wajah di era transisi dari film bisu ke film berbicara. Kala Nellie dan Conrad mencapai kejayaannya, pengambilan gambar dilakukan di luar ruangan. Sementara pada era film berbicara, mereka berbondong masuk ke set studio kedap suara demi mendapatkan kualitas suara yang mumpuni.
Chazelle benar-benar mengemas “Babylon” dengan sangat menarik di mana kita bisa mengikuti perpindahan para karakter itu beserta set melalui pergerakan kamera dan pacuan latar musik yang terkadang cepat, bahkan terkadang lambat atau sama sekali hening. Lewat “Babylon”, Chazelle juga seolah menyajikan berbagai genre yang walau tampak tak konsisten namun memikat, mulai dari rangkaian komedi yang terkadang gelap hingga aksi-thriller yang ditunjukkan saat Manny dan rekannya dikejar-kejar komplotan gangster eksentrik yang dipimpin James McKay.
Tak melulu soal dinamika aktor dan set, lewat “Babylon”, Chazelle juga bermain dengan montase-montase film yang datang dari beberapa masa. Ini bisa kita saksikan saat Manny mengunjungi bioskop pada 1950-an––bertahun-tahun usai dia meninggalkan Hollywood dan rekan-rekannya satu per satu wafat mulai dari Nellie hingga Conrad.
Saat itu Manny menonton “Singin’ in the Rain” (1952), sebuah film yang menggambarkan Hollywood di akhir 1920-an. Selama menonton, Manny terpukau sekaligus seluruh perasaannya berkecamuk. Dan montase-montase film dari masa ke masa dimunculkan Chazelle, membawa kita––barangkali juga Manny––menyusuri spektrum dari hitam putih ke komponen warna RGB. Bahkan, Chazelle tak segan-segan menampilkan cuplikan film “Avatar” yang notabene berasal dari era sekarang.
Nyatanya “Babylon” tak hanya memotret transisi Hollywood dari era film bisu ke film berbicara. “Babylon” juga menangkap transisi dunia perfilman dari layar hitam-putih ke layar berwarna, bahkan hingga komponen warna diciptakan dari teknologi abad ini melalui montase-montase itu.
Bagian akhir dari “Babylon” ini merupakan bagian yang paling eksperimental Chazelle dari yang mampu menghipnotis kita sebagai penonton. Montase-montase itu seperti gambaran klimaks dari ledakan demi ledakan di industri Hollywood. Walau Manny menangis saat kilas balik ke era kejayaannya pada 1920-an dan 1930-an, dia pun pada akhirnya tersenyum seperti menyimpan harapan dan keyakinan terhadap dunia perfilman Hollywood.
Pada akhirnya, “Babylon” boleh dibilang sebuah karya yang menarik Chazelle yang layak ditonton.
Credit: Source link