Lingkungan pertemanan yang toxic akan menghambat kita untuk tumbuh. Alih-alih mendapat dukungan, justru hanya saling menyakiti. Cari tahu apakah hubungan pertemananmu sehat. Pastikan pula bukan diri sendiri yang toxic. Jika sudah mantap, ambil langkah berani untuk keluar.
—
BISA dibilang, pertemanan itu inti sari perjalanan manusia di muka bumi. Sebagai makhluk sosial, kita butuh orang lain, kita butuh berteman. Pandai-pandailah memilih circle pertemanan. Lingkungan pertemanan yang baik ditandai dengan adanya penerimaan dan tidak adanya penghakiman. Lantas, apa yang harus dilakukan jika merasa terjebak dalam circle yang toxic?
Cek Red Flag dalam Pertemanan
Untuk mengecek suatu pertemanan itu toxic atau tidak, kita perlu melihat diri sendiri dan orang lain di saat yang bersamaan. Apakah selama berteman kita merasa bertumbuh. Atau, justru merasa lelah dan mood menurun setiap bertemu satu sama lain. Lalu, apakah dalam suatu hubungan itu kepercayaan kita bisa dijaga. Alih-alih memuji, apakah justru lebih banyak kritik yang tidak membangun dan saling menghakimi dalam hubungan tersebut.
Belum lagi iri hati, gampang cemburu, dan tidak adanya dukungan dari teman kita. Hal itu berlaku untuk diri kita sendiri juga. Jadi, observasinya harus dua arah. Sebab, relasi pertemanan itu mencakup diri kita sendiri dan satu–dua atau sekelompok orang. Jika ingin menilai sebuah pertemanan itu toxic atau tidak, kita juga mesti mengecek sikap kita. Jangan-jangan kitalah yang mengundang lingkungan toxic tersebut.
Kapan Waktu yang Tepat untuk Keluar?
Ketika kita tidak lagi punya integritas, perasaan kita terlanggar oleh kata-kata atau sikap orang lain, maka kita boleh mengenalinya sebagai perilaku toxic. Saatnya untuk menyayangi diri sendiri dan menghentikan pertemanan yang dianggap toxic itu. Kapan harus keluar dari circle tersebut, bergantung masing-masing. Kenali kondisi mental selama pertemanan. Misalnya, tidak nyaman, merasa kelelahan, stres, dan cemas setiap berhadapan dengan mereka, serta kepercayaan diri dijatuhkan. Semua itu merupakan tanda bahwa kita perlu self-care.
Sering kali kita ingin membahagiakan orang lain meskipun tahu orang itu membuat energi kita habis. Bisa karena tidak percaya diri atau takut apabila keluar dari circle tidak bisa mendapatkan teman baru lagi. Sayangi diri sendiri terlebih dahulu. Jangan menjadi toxic untuk diri sendiri.
Bagaimana Caranya?
Ketika ingin mengakhiri sebuah hubungan, itu tidak berarti membenci. Justru itu karena sayang terhadap diri sendiri maupun orang lain. Keputusan untuk melepaskan diri dipilih agar kita tidak tersakiti dan teman kita juga tidak punya kesempatan untuk menyakiti. Jadi, win-win solution. Tentu, hal tersebut butuh keberanian. Sering kali kita kebingungan memulainya. Tidak masalah. Semuanya butuh proses.
Memang, dalam suatu hubungan, ada jalinan emosi yang terbangun. Apa pun yang terjadi, jauh lebih baik untuk bisa jujur terhadap apa yang dirasakan dan ungkapkan. Jujur saja kalau merasa tidak nyaman dan ingin menarik diri dari circle tersebut. Tiba-tiba memutus hubungan juga tidak masalah. Tidak ada cara yang paling benar. Yang terpenting, segala yang dilakukan untuk mengakhirinya didasari oleh niat yang baik. Lakukan karena sayang pada diri sendiri.
Circle yang Sehat
Lingkungan pertemanan yang sehat itu yang bisa membantu mengenali perasaan kita. Mengenali apa saja yang kita butuhkan dan tidak. Jadi, circle yang sehat itu yang bisa membantu kita punya self-care yang baik. Termasuk yang selalu ada di sisi kita sekalipun sedang mengalami kesulitan. Sebaliknya, jika malah mencari alasan untuk tidak membantu atau mengkritik, pertimbangkan untuk stay dalam circle itu atau keluar.
Kita perlu menumbuhkan lingkungan yang penuh penerimaan dan tidak menghakimi. Seseorang yang bisa menerima apa adanya. Meski tidak seratus persen, jika dia berkomitmen dengan sikap penerimaan, itu sudah cukup.
*) HENDRICK TANUWIDJAJA BArch QMT, Certified Mindfulness-based Cognitive Therapy Teacher
Credit: Source link