Muhtar Sadili
Cikal bakal semangat kapitalisme di barat adalah mencari sebanyak mungkin harta, untuk didayagunakan kemakmuran bumi. Sejarah mencatat etika protestan sebagai yang menjadikan banyak kalangan berjuis di Eropa berlomba-lomba menjadi orang kaya. Etika protestan telah melahirkan pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Nyaris mustahil menihilkan peran agama dalam gerak pembangunan ekonomi di eropa waktu itu. Memang kemudian kapitalisme memakan Induk semangangnya, cendrung menempatkan agama di bawah karpet merah. Sampai agama dituding menghambat pembangunnan kala idiologi kapitalisme abad bertengahan mulai mencuci bersih peran agama dalam etos pembangungan.
Tapi kita selanjutnya dikejutkan oleh Jhon Naisbet dalam bukunya “mega trend 2000” mengatakan, Religion Organitation No, Spiritual Yes. Bermunculan para pengkaji kecerdasan spiritual yang puncaknya oleh Danah Zohar yang mengatakan tentang “titik Tuhan” yang ada dalam setiap diri umat manusia. Serakus dan atau sejahat apapun seseorang, pasti punya hati nurani atau fitroh (kembali ke asal).
Terkait dengan tren spiritual itu, puasa sebenarnya bisa kita temukan semangat etos pembangunan. Sebuah konsep di mana seorang muslim yang taat mental dan material adalah semangat untuk membangun diri, keluarga, masyarakat dan negara.
Islam adalah agama paling memungkinkan untuk menyumbangkan nilai dalam semangat pembangunan kita. Dalam sosiologi beragama, Islam di Indonesia mirip dengan dominasi protestan di eropa yang melahirkan semangat untuk berdaya upaya membangun kesejahteraan materi untuk bekal tugas kemanusiaan di muka bumi.
Tugas kamanusiaan masyarakat muslim Indonesia adalah memaknakan puasa sebagai pendorong etos pembangunan itu sendiri, sebagaimana etika protestan membidani kelahirang kapitalisme. Semangat berusaha adalah untulk terus-menerus berbagi pada kaum dhuafa. Rasa lapar-dahaga dalam berpuasa adalah pembelajaran untuk memperhatikan kaum dhuafa yang “berpuasa” dalam separuh lebih perjalanan hidupnya.
Kaum dhuafa adalah kolempok yang paling harus diperhatikan dalam sturktur masyarakat. Kita mengenal istilah kemiskinan struktural yang menempatkan kaum dhuafa terus-menerus tidak bisa merdeka dari nestapa kemanusiaan.
Mereka memang merasakan kemerdekaa sesaat kala idul fitri menyapa meraka dengan zakat fitrah. Tapi kita masih menemukan kerja sosial, tentang perhatian utuh atas pengentasan kemiskinan jauh panggang daripada api. Mereka tidak jarang menjadi stempel pembangunan bagi segelintir elit yang sesungguhnya paling menikmati dari roda pembangunan itu sendiri. Kaum dhuafa sudah tidak sadarkan diri bahkan tidak mampu menghindar dari menjadi obyek pembangunan.
Selayaknya puasa tidak menjadi hiasan kepedulian saja. Lapar dahaga hanya manis menunjukkan kesalehan personal. Kaum dhuafa hanya menikmati “hiasan puasa” itu sambil tetap terus ada dalam penindasan!.
Agama Islam sedianya menjadi pendorong utama dalam membebaskan kaum dhuafa dari jeratan sosial, ekonomi, poltik bahkan kekuasaan itu sendiri. Jangan sampai hingar bingar pelaksanaan puasa tahun ini tidak mampu memberikan semangat pembangunan yang sesungguhnya. Terus berada dalam paradok keberagamaan, di mana setiap tahun melaksanakan puasa, tapi penderitaan kaum dhuafa tidak pernah ada perhatian yang berarti.
Berpuasa tahun ini adalah khidmat pada membangun kesadaran untuk menurunkan indek kemiskinan kita. Bukan menambah daftar panjang penderitaan kaum dhua`afa hingga tahun-tahun berikutnya. Itu puasa yang pernah dikatakan oleh Imam Ghozali hanya sekedar merasakan lapar-dahaga dan kering dari kosakata kepedulian yang sesungguhnya.
Selamat berpuasa dan membangun kesejahteraan kaum dhuafa!
*Pengasuh Pesantren Assalam Plered Purwakarta Jawa Barat.
TAGS : Puasa etika pembangunan
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/17749/Etos-Pembangunan-dan-Puasa/