Ilustrasi kemasan air galon (foto: google)
Jakarta, Jurnas.com – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pengurangan timbunan sampah tanpa adanya tanggung jawab produsen penghasil sampah kemasan akan sulit terlaksana. Apalagi jika hanya mengandalkan bank sampah semata.
“Tanggung jawab perusahaan itu pun sudah tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga. Salah satu penerapan dari UU Nomor 18 Tahun 2008 adalah EPR atau Extended Producer Responsibility,” ujar Staf Peneliti YLKI, Nataliya Kurniati.
EPR merupakan kebijakan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No 18 Tahun 2008, di mana produsen mulai untuk bertanggung jawab atas kemasan yang dihasilkan dari produknya. Namun hingga saat ini penerapan EPR masih berjalan secara sukarela.
Terlihat dari sampah kemasan makanan atau minuman, produk kebutuhan rumah tangga, dan yang lainnya terhenti di tempat yang tidak seharusnya seperti sungai, laut, lahan kosong dan penampungan akhir.
Malah ada produsen yang mengeluarkan Air Dalam Kemasan (AMDK) galon sekali pakai. Nataliya mengatakan bahwa YLKI melihat munculnya AMDK galon sekali pakai itu merupakan kemunduran di tengah adanya upaya pemerintah untuk mengurangi keberadaan sampah plastik di masyarakat.
“Bagi YLKI yang sangat mendukung pembatasan bagi produk-produk yang memiliki eksternalitas negatif terhadap lingkungan dan kesehatan, ini sebuah kemunduran. Seharusnya yang harus dilakukan kan ikut mengendalikan sampah plastik,” katanya.
Nataliya bahkan mempertanyakan bagaimana pengelolaan akhir dari AMDK galon sekali pakai itu. “Pastinya akan menjadi tambahan timbunan sampah nantinya. Apalagi kita melihat kondisi konsumen kita yang masih darurat literasi, masih darurat edukasi juga, belum bisa melakukan pengelolaan sampah yang baik,” tuturnya.
Karenanya dia sangat menyesalkan keberadaan AMDK galon sekali pakai itu. “Mau dibuang kemana nanti sampah galon-galon itu jika perusahaan yang memproduksinya tidak ada tanggung jawab untuk menarik kembali sampah galonnya itu. Jadi kita harus mengejar agar ada upaya dari si produsen untuk mau mengangkut kembali sampah-sampah galon,” ucapnya.
Menurutnya, sesuai Undang-Undang, produsen AMDK galon sekali pakai itu seharusnya disertai dengan tanggung jawab untuk melakukan EPR. Untuk itu, produsen harus bisa membuktikan bahwa konsumennya benar-benar paham dengan product knowledge. Selain itu, harus ada edukasi yang diberikan perusahaan terhadap para pedagangnya. Setiap simpul rantai bisnis mereka itu harus diberikan pemahaman bagaimana idealnya. Misalnya ada tempat-tempat yang memang memungkinkan konsumen untuk bisa mengembalikan galon air setelah habis digunakan.
“Toko-toko penjualan AMDK galon sekali pakai juga harus bersedia sebagai tempat pengepul sampah galonnya karena sudah menjadi reseller dari perusahaan,” ujar Natalya.
Karenanya, dia berharap agar pemerintah segera bertindak terhadap si produsen AMDK sekali pakai ini.
Nataliya menuturkan bahwa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga disebutkan bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa konsumen itu juga harus cerdas, tidak cuma bisa memakai barang yang mereka jual saja. Begitu juga toko-toko penjual, harus tahu dan membaca term and condition produknya itu apa dan bagaimana cara penggunaannya.
“Artinya, kalau misalkan sudah selesai, sudah habis digunakan, galonnya itu harus diapai, apakah harus dibuang, membuangnya kemana,” katanya.
Untuk itu, katanya, pemerintah harus bisa mengatur agar ketika di lapangan, kebijakan itu bisa berjalan dengan baik. Ada mekanisme kontrol dan evaluasi dari pelaku usahanya terhadap produk yang dijual serta tunduk kepada bagaimana arahan pemerintah.
Ahmad Sulaeman PhD, Guru Besar IPB yang juga Pakar Keamanan Pangan, bahkan meminta pemerintah untuk menegur pèrusahaan-perusahaan produsen AMDK galon sekali pakai karena bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang penurunan limbah plastik. “Langkah perusahaan produsen air kemasan galon sekali pakai itu kontradiksi dengan kebijakan pemerintah yang justru sedang berupaya mengurangi limbah plastik, seperti dengan penggunaan tumbler di sekolah, kampus, kantor, dan hotel-hotel, yang tidak lagi menyediakan air minum dalam kemasan,” ujarnya.
Karenanya, Ahmad berharap pemerintah harus segera membuat kebijakan yang mewajibkan produsen air kemasan galon sekali pakai itu untuk menerima dan membeli kembali bekas kemasan galonnya, untuk diolah menjadi produk lainnya.
Dikonfirmasi mengenai keberadaan AMDK sekali pakai ini, Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan pemerintah akan melakukan komunikasi dengan para produsen air kemasan dengan lebih gencar agar mereka juga melakukan langkah yang sejalan dengan Peraturan Pemerintah yang sudah dibuat.
“Kita akan berbicara dengan produsen AMDK itu untuk meminta mereka agar melaksanakan Peraturan Menteri LHK dan tidak menambah beban persoalan sampah plastik di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Vivien, KLHK akan memastikan mereka harus memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan pengelolaan sampah. Yaitu, untuk menarik kembali kemasan galon tersebut setelah dipakai konsumen untuk mereka daur ulang.
“Mekanisme penarikan kembali untuk didaur ulang sangat terbuka untuk mereka atur sendiri. Kami siap membangun komunikasi terkait mekanisme itu. Jika itu tidak dilakukan, mereka berarti melanggar peraturan perundangan pengelolaan sampah karena sangat berpotensi menambah jumlah sampah plastik yang membebani lingkungan,” katanya.
TAGS : Lembaga YLKI Galon Sekali Pakai Penanganan Sampah
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin