INDOPOS.CO.ID – Sejumlah tokoh Betawi merekomendasikan sembilan poin terkait revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (Pemprov DKI) Jakarta.
Rekomendasi dirumuskan dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) bertema “Pasca-Jakarta tanpa Ibu Kota” di Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta, pada Sabtu (19/2). Kegiatan diprakarsai Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal DKI Jakarta, Dailami Firdaus.
Bang Dai, sapaan Dailami, menyatakan, FGD melibatkan berbagai lembaga. Misalnya, Pusat Studi Betawi Universitas Islam As-Safi’iyah, Betawi Satu, Lembaga Kebudayaan Betawi, dan Kaukus Muda Betawi.
“Dalam forum tersebut, kami menyepakati sembilan rekomendasi untuk pemerintah dan DPR dalam menyusun revisi UU 29/2007,” katanya.
Pertama, perlunya merevisi UU 29/2007 menyusun diundangkannya UU Ibu Kota Negara (IKN) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, revisi harus dilakukan secara runut dan rigid dengan memperhatikan sistem, bentuk, dan nilai masyarakat Betawi pasca-Jakarta tidak lagi berstatus sebagai IKN.
Kedua, dalam merevisi UU 29/2007, naskah akademik memuat nilai historis, psikologis, sosiologis, sosial dan budaya, tata pemerintahan, hukum, ekonomi, serta usul perubahan pasal per pasal.
“Ketiga, masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta harus terlibat aktif dalam seluruh proses dan tahapan, dari penyusunan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan karena masyarakat Betawi lebih mengetahui kebutuhan, keinginan, dan perkembangan Jakarta ke depan,” tuturnya.
Keempat, sambung Bang Dai, Jakarta tetap mendapatkan sifat kekhususan sebagaimana yang diterima Provinsi Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Papua.
Kelima, isi atau substansi UU 29/2007 hasil revisi mengusung semangat desentralisasi asimetris guna memaksimalkan potensi politik, sosial, budaya, dan ekonomi sekaligus dalam menghadapi berbagai masalah Jakarta ke depan.
“Keenam, atas adanya kekhusuan Jakarta tersebut, maka revisi UU 29/2007 harus memuat kelembagaan masyarakat adat Betawi, seperti yang ada di Aceh (Majelis Adat Aceh/MAA) dan/atau di Papua (Majelis Rakyat Papua/MRP) agar pembangunan daerah terintegrasi dengan nilai-nilai Betawi,” bebernya.
Credit: Source link