JawaPos.com – Perbankan syariah bersama asosiasi mendukung penghapusan kewajiban pemisahan alias spin off unit usaha syariah (UUS) dari bank induk pada 2023. Sebab, dinilai tidak signifikan mengoptimalkan kinerja industri bank syariah ke depan. Justru, akan meningkatkan risiko bank bangkrut lantaran modal yang terbatas.
Direktur Syariah Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Pandji P. Djajanegara menilai, penerapan kebijakan spin-off UUS pada 2023 dikhawatirkan kontra produktif dari tujuan tersebut. Alih-alih mempercepat pertumbuhan market share, malah bakal membuat perbankan syariah tidak kompetitif.
“Jika kewajiban spin-off diterapkan pada 2023, maka akan lahir sekitar 21 Bank Umum Syariah (BUS) baru dengan modal cekak dan kemampuan terbatas,” ucapnya dalam Bahasan Perbankan Syariah di Graha CIMB Niaga, kemarin (15/8).
Hal tersebut bertentangan dengan arahan konsolidasi perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Yakni, mendorong penguatan modal untuk menghadapi krisis finansial di masa mendatang serta menghadapi skala bisnis lebih besar.
Data OJK juga menunjukkan, market share perbankan Syariah masih di kisaran 6,7 persen per Desember 2021. Masih ada gap yang besar terhadap roadmap Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada 2024 sebesar 20 persen pangsa pasar dari keseluruhan industri keuangan syariah.
Dari kinerja lima tahun terakhir, UUS terbukti dapat berkontribusi lebih terhadap share bank induknya. Kontribusi rata-rata aset lima besar UUS terhadap share bank induk mencapai 14 persen.
Artinya, jika model bisnis UUS dipertahankan maka bisa diandalkan untuk mempercepat pencapaian target 20 persen aset perbankan nasional 2024. Menurut Pandji, ketika UUS harus berubah menjadi BUS maka akan memperburuk pelayanan terhadap nasabah dan masyarakat.
Karena BUS hasil spin-off dengan modal kecil belum dapat menyediakan infrastruktur dan tenaga ahli yang setara dengan bank induknya. Padahal, selama ini nasabah telah merasakan standar pelayanan yang memuaskan dari bank induk. Misalnya, layanan perbankan digital melalui super app maupun internet banking.
“Apalagi bila ditambah penyesuaian pricing pembiayaan BUS hasil spin-off akan menjadi lebih tinggi karena keterbatasan likuiditas, sumber dana yang mahal dan rating bank rendah. Kondisi ini akan merugikan sekitar 6,5 juta nasabah UUS. Jika hal ini terjadi, dampak lanjutannya bisa menggerus risiko reputasi perbankan syariah,” ujarnya.
Dia menegaskan, kewajiban spin-off UUS tahun depan perlu ditinjau ulang. Karena bisa berdampak terhadap melemahnya pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia.
Pelemahan tersebut bisa terjadi lantaran penambahan jumlah entitas dengan skala ekonomi yang relatif kecil. Sehingga tidak akan melahirkan ekosistem industri keuangan yang cepat dan pesat.
Apalagi, pada konteks yang lebih luas, kondisi makro ekonomi saat ini juga tidak kondusif. Bank induk dari UUS masih berfokus pada penjagaan kualitas aset akibat pandemi dan pemulihan. Di sisi lain, juga tetap waspada terhadap ancaman potensi resesi global.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Agas Putra Hartanto
Credit: Source link