Klarifikasi Kemenlu-Perusahaan, Soal WNI Terlilit Utang di Inggris

Klarifikasi Kemenlu-Perusahaan, Soal WNI Terlilit Utang di Inggris

JawaPos.com – Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Inggris sebagai pemetik buah dikabarkan menjalani kerja paksa dan terlilit utang. Kisahnya dimuat oleh media asing The Guardian. WNI itu mengaku telah dikenai utang hingga 5.000 pound atau setara Rp 89,1 juta.

The Guardian melaporkan para WNI yang bekerja menjadi pemetik buah di Inggris bekerja selama satu musim di negeri tersebut. Awalnya mereka memang diberi kontrak tanpa jam kerja, namun kurang dari 300 pound (Rp 5,3 juta) seminggu, akibat dikurangi biaya penggunaan sejumlah fasilitas. Beberapa pekerja mengatakan harus mengeluarkan biaya tambahan ribuan pound untuk broker Indonesia yang menjanjikan penghasilan besar, yang di bawah undang-undang ketenagakerjaan Inggris merupakan praktik ilegal.

“Sekarang saya bekerja keras hanya untuk mengembalikan uang itu. Kadang saya stres. Saya kadang tidak bisa tidur. Saya memiliki keluarga yang membutuhkan dukungan saya untuk makan. Dan sementara itu, saya berpikir tentang utang,” kata Banyu (bukan nama sebenarnya) melalui video call dari karavan yang dia bagikan dengan 5 pria lainnya seperti laporan The Guardian.

Kronologi

Di bulan pertamanya, Banyu berjuang untuk memetik cukup cepat. Dia memiliki kontrak tanpa jam kerja. Ini kemudian diubah menjadi kontrak mingguan minimum 20 jam, dengan bayaran per jam sebesar £ 10,10.

Kedatangan Banyu dan rekan-rekannya di pertanian terjadi melalui rantai perantara dan agen yang kompleks.
Banyu kehilangan pekerjaan bagus di Bali pada awal pandemi. Jadi begitu dia mendengar tentang sebuah organisasi yang menawarkan pendaftaran pada program bahasa Inggris dengan imbalan pekerjaan di luar negeri, dia langsung mengambil kesempatan itu.

Pelajarannya dasar, tetapi dia diberitahu bahwa kursus £ 550 itu penting untuk disesuaikan dengan pekerjaan, bahkan jika kandidat sudah fasih. “Tujuan dari pelatihan itu adalah kita harus membayar,” kata Banyu.

“Kelas ini benar-benar hanya untuk bisnis, bukan untuk belajar mengajar,” jelasnya.

“Jika Anda tidak dapat membayar kursus, anda dapat meminjam uang, yang banyak dilakukan,” katanya.

Dari sana, utang ke broker tumbuh. Awalnya mereka diberitahu bahwa pekerjaan mereka mungkin di Australia, Kanada atau Selandia Baru. Banyu dan teman-temannya mengatakan ketika mereka mengetahui pekerjaan mereka di Inggris, mereka diterbangkan ke Jakarta untuk bertemu dengan agen Inggris berlisensi yang akan mendaftarkan mereka dan mendapatkan visa mereka.

Broker Bali menempatkan mereka selama tiga malam di sebuah wisma biasa. Seorang pekerja mengatakan mereka ditagih sekitar £1.000 untuk waktu mereka di Jakarta.

Saat di Jakarta, para pekerja bertemu Douglas Amesz, direktur pelaksana AG Recruitment, agen Inggris berlisensi yang ditugaskan untuk mendaftarkan mereka ke pertanian. AG bekerja sama dengan agen perekrutan Jakata, Al Zubara Manpower, untuk mencari ratusan pekerja untuk pertanian Inggris, termasuk Clock House.

Klarifikasi Kemenlu dan Perusahaan

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI buka suara soal kasus ini. Saat dikonfirmasi JawaPos.com, Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah mengatakan kunjungan lapangan sudah dilakukan.

Termasuk dialog dengan para pekerja migran Indonesia (PMI) di dua tempat terbanyak menampung mereka, Clockhouse dan Mansfield, di Kent. Kunjungan ke kantor AG Recruitment, pemasok pekerja, untuk mendiskusikan dengan pemilik juga dilakukan.

“Para WNI yang menjadi PMI juga sudah ke KBRI, kami lakukan koordinasi dengan Tim Klarifikasi Kemenaker,” jelasnya.

“Untuk membahas berbagai hal, termsuk proses rekrutmen mereka di tanah air,” tambah Faizasyah.

Sementara itu pihak perusahaan, Direktur PT Al Zubara Manpower Indonesia Yulia Guyeni membantah pihaknya telah melakukan pungutan liar kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang bekerja di Inggris Raya sebagaimana pemberitaan beberapa media baru-baru ini. Yulia justru mendapatkan informasi jika jeratan hutang PMI yang bekerja di Inggris hingga 90 juta merupakan pinjaman untuk keperluan pribadi dan tidak terkait biaya proses penempatan ke Inggris Raya.

“Pungutan liar atau pungutan di luar prosedur hukum di Indonesia sebesar 90 juta rupiah bukan merupakan kebijakan dan bukan merupakan perbuatan hukum dari perusahaan kami,” tegas Yulia kepada wartawan.

“Alokasi untuk biaya proses penempatan ke PT Al Zubara Manpower Indonesia hanya sebesar 45 juta rupiah,” tambah Yulia.

Lebih lanjut ia menekankan proses penempatan PMI ke Inggris Raya yang dilakukan olen perusahaanya telah memenuhi prosedur resmi baik dari negara asal di Indonesia maupun regulasi di negara penempatan UK. Ia mengklaim penempatan PMI yang dilakukan oleh PT Al Zubara Manpower Indonesia merupakan kerjasama P to P dengan AG Recruitment & Manajamen Ltd yang telah memiliki lisensi kantor dalam negeri dan Gangmaster dan otorotitas penyalahgunaan tenaga kerja (GLAA) sebagai agensi otoritas/lisensi penempatan pekerja migran di wilayah hukum UK.

Yulia membeberkan selain mengantongi izin SIUP dari otoritias berwenang di Indonesia, perusahaanya bahkan telah melakukan endorsment dokumen kerjasama perusahaanya tersebut dengan AG recruitment di KBRI London.
Meski demikian, Yulia memastikan bahwa perusahaanya akan tetap memberikan pendampingan dan memberikan perlindungan terhadap PMI dengan melakukan pembelaan hukum terhadap yang bersangkutan.

“Kami juga melakukan endorsment dokumen Kerjasama kami dengan AG Recruitment di KBRI London, mengajukan SIP2MI di BP2MI sehingga kami bisa melakukan ID untuk CPMI dan Orientasi Pra Pemberangkatan (OPP), ” ujar Yulia.

“Bahwa dimungkinkan perbuatan tersebut dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak terikat langsung secara struktural maupun fungsional dengan perusahaan kami selaku agent di Indonesia, kami sebagai penyedia PMI yang direkrut dan ditempatkan oleh AG Recruitment & Management Ltd dalam hal ini berkewajiban untuk memberikan perlindungan,” kata Yulia.

Editor : Kuswandi

Reporter : Marieska Harya Virdhani


Credit: Source link

Related Articles