JawaPos.com-Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi dan nonsubsidi, meliputi Pertalite, Solar, dan Pertamax, Sabtu (3/9). Kenaikan BBM ini mengubah Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter dari sebelumnya Rp 7.650, Solar subsidi menjadi Rp 6.800 per liter dari sebelumnya Rp 5.150, dan Pertamax menjadi Rp 14.500 per liter yang sebelumnya Rp 12.500.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kenaikan harga BBM subsidi akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang secara umum atau inflasi. Namun, ia menyebut besarnya kenaikan beda-beda bahkan bisa dimungkinkan ada yang turun.
“Kenaikan harga BBM subsidi diperkirakan akan diikuti oleh kenaikan harga barang-barang secara umum (inflasi). Tetapi besarnya kenaikan akan berbeda-beda. Bahkan bisa saja ada barang yang harga nya turun,” kata Piter Abdullah kepada JawaPos.com, Sabtu (3/9).
Ia menjelaskan, misalnya saja telur, karena telur sudah melonjak tinggi sebelum kenaikan harga BBM subsidi. Maka, bisa saja telur tidak mengalami kenaikan atau bahkan mengalami penurunan harga.
Menurutnya, kenaikan harga lebih dipengaruhi oleh supply dan demand. “Harga akan melonjak tajam ketika ada lonjakan demand atau dikarenakan adanya gangguan pasokan,” jelasnya.
Inflasi dan Kemiskinan
Piter juga memprediksi dampak dari kenaikan BBM terhadap inflasi akan melonjak di atas 6 persen. Bahkan, skenario terburuknya dapat meningkat hingga dua digit atau 10 persen. “Kami memperkirakan inflasi akan melonjak diatas 6 persen. Bahkan skenario terburuknya antara 8 sampai dengan 10 persen,” ungkapnya.
Tak hanya berdampak pada inflasi, Dosen Perbanas Institute ini juga memaparkan kenaikan BBM justru berpeluang menambah angka kemiskinan. Sebab menurutnya, bantuan sosial (bansos) yang diyakini pemerintah dapat memulihkan daya beli masyarakat, tidak akan cukup berpengaruh terhadap dampak kenaikan BBM.
“Bansos tidak akan mampu menahan tambahan penduduk miskin apabila skenario terburuk lonjakan inflasi diatas 8 persen dan pemulihan ekonomi terganggu. Apalagi menurunkan kemiskinan,” paparnya.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa kenaikan BBM saat ini tidak bisa dibandingkan dengan kesuksesan pengalaman di masa silam. Hal itu disebabkan bedanya kondisi sosial ekonomi yang terjadi masa kini dan masa lalu.
“Kondisinya jauh berbeda. Tahun ini kita masih dilanda pandemi dan juga ada gejolak global. Tidak bisa disamakan. Walaupun 2008 dan 2013-2014 juga ada krisis. Tetapi tidak seburuk saat ini,” tegas dia.
Editor : Dinarsa Kurniawan
Reporter : R. Nurul Fitriana Putri
Credit: Source link