JawaPos.com – Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) menyoroti lemahnya sinkronisasi data pertambangan yang dimiliki pemerintah. Dampaknya, kepercayaan diri pelaku industri dalam melakukan ekspansi berkurang.
“Dalam menyusun kebijakan yang tepat, harus ada landasan yang kuat. Faktanya, sekarang kita belum bisa memanfaatkan data-data usaha pertambangan. Tak heran, pengusaha juga sering bingung akibat perubahan kebijakan,” ujar Ketua Umum Aspebindo Anggawira.
Menurut Anggawira, saat ini one big data policy menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah. Tujuannya, memberikan kepastian hukum kepada para pengusaha tambang. Apalagi, Indonesia membutuhkan suntikan investasi untuk mempercepat hilirisasi industri minerba.
“Pengusaha mengurus izin pertambangan ke pusat. Kemudian, ada kebijakan untuk mengurus izinnya di daerah. Ketika izin diurus, ternyata daerah belum siap. Kebingungan itu bisa menghambat investasi dan pertumbuhan pengusaha. Padahal, era big data ini mendorong dilakukannya sinkronisasi data agar kebijakan yang dihasilkan tidak tumpang-tindih,” paparnya.
Menurut Anggawira, keuntungan one big data policy adalah bisa memetakan secara akurat kemampuan pengusaha. Jadi, pemerintah bisa menjadikan data tersebut sebagai landasan dalam menyiapkan instrumen insentif dan peningkatan kapasitas.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Sistem Perizinan Berusaha Kementerian Investasi/BKPM Edy Junaedi menyatakan, pemerintah terus menyinkronkan data dengan peraturan di pusat dan daerah.
“Memang masalah data sebelumnya menjadi hambatan, tapi dengan sistem di OSS pelan-pelan kami sinkronkan. Sekarang Kementerian Investasi dan BKPM secara aktif berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyelesaikan masalah data ini. Dengan begitu, data ini bisa menjadi landasan tepat untuk kebijakan dan peraturan yang ada,” jelasnya.
Credit: Source link