Berbagai sentimen dari internal maupun eksternal membuat kondisi perekonomian naik turun sepanjang 2022. Investor reksa dana disarankan untuk berhati-hati pada 2023, terutama yang agresif pada saham. Pahami dulu garis besar sentimen global, baru kemudian memutuskan teknis dan strategi.
—
CERTIFIED Financial Planner Sahamology Gembong Suwito menuturkan, ketika membahas investasi reksa dana, harus memahami perekonomian secara global dulu. Sebab, di dalamnya berisi tiga instrumen. Yakni, pasar uang, obligasi, dan saham.
Gembong menyebutkan, kondisi pasar sepanjang 2022 terbilang menantang. Banyak fenomena yang unpredictable. Sebagaimana perang Rusia dan Ukraina yang menimbulkan kenaikan harga energi. Imbasnya, inflasi menjadi tinggi, khususnya di negara maju, sehingga mengerek suku bunga acuan bank sentral.
Bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) sudah menaikkan suku bunganya dari 0–0,25 persen menjadi 4,25–4,5 persen sepanjang 2022. Sikap hawkish itu mengubah tatanan perekonomian dunia.
Dengan begitu, kata Gembong, ada lima hal yang perlu diwaspadai dalam menentukan berinvestasi di reksa dana pada 2023. Di antaranya, keputusan The Fed yang akan agresif menaikkan suku bunga acuannya. ’’Diprediksi dua kali lagi. Itu terjadi pada kuartal I. Mungkin di 5–5,25 persen. Itu puncaknya,’’ ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos, Jumat (30/12).
Kemudian, tren inflasi negara-negara maju yang mulai melandai menjadi perhatian. Di AS, tren kenaikan harga barang dan jasa terus menurun sejak Juni lalu. Yakni, 9,1 menjadi 7,1 persen pada November 2022. Dengan demikian, ada kemungkinan The Fed bakal mengendurkan kenaikan suku bunga acuannya.
Kenaikan suku bunga acuan yang agresif bakal memperlambat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kemungkinan pada 2023, sekitar 90 persen kawasan Eropa dan Inggris diperkirakan resesi. Sementara itu, AS mengalami resesi pada kuartal II atau kuartal III. ’’Jadi, kita berusaha realistis bahwa 2023 bakal lebih menantang dari tahun sebelumnya,’’ terang pria asal Surabaya itu.
Gembong menambahkan, faktor geopolitik masih tidak bisa diprediksi. Konflik Rusia dan Ukraina belum ketahuan ujungnya sampai sekarang. Bahkan, konflik regional seperti Tiongkok dan Taiwan maupun Korea Utara dan Korea Selatan kemungkinan masih bergejolak.
Selain itu, perhatian terakhir tertuju pada pelemahan mata uang dolar AS (USD). Sebab, sepanjang 2022 menjadi momentum penguatan USD. Semua mata uang di dunia melemah terhadap mata uang Negeri Paman Sam itu. ’’Ini anomali,’’ ujarnya.
Berdasar sejumlah indikator itu, reksa dana dengan basis pasar uang seharusnya mengalami kenaikan pada 2023. Sejalan dengan terkereknya bunga deposito. Ditambah, kenaikan suku bunga acuan mulai terbatas.
’’Reksa dana pasar uang yang tahun lalu memberikan return di bawah 2–2,5 persen rata-ratanya, tahun ini diperkirakan bisa naik 3–5 persen. Ini instrumen dengan risiko paling rendah,’’ jelas Gembong.
Untuk obligasi, lanjut dia, ada dua strateginya. Kalau pendapatan tetap yang isinya dominan obligasi negara, 2023 menjadi tahun rebound. Berkisar 7 sampai 9 persen. Sejalan dengan prediksi kenaikan suku bunga acuan yang terbatas, membuat imbal hasil obligasi semakin menarik. Sebab, selama 2022, kondisi pasar obligasi terkoreksi cukup dalam secara global.
Sementara itu, obligasi swasta masih tetap stabil. Yang penting melihat track record dari penerbit dan pengelolaan manajer investasinya. Dengan demikian, return yang dihasilkan 6–8 persen.
Sementara itu, reksa dana saham dan campuran berbasis ekuitas bakal semakin menantang. Menilik indeks harga saham gabungan (IHSG) hingga akhir tahun lalu hanya tumbuh 4,09 persen year-to-date (YtD). Lebih rendah ketimbang kinerja IHSG hingga akhir 2021 yang mampu naik 10 persen YtD.
’’Selama 20 tahun pada setiap Desember yang biasanya window dressing, itu nggak ada tahun ini. Bahkan minus 2,4 persen,’’ ucap Gembong.
Koreksi tersebut dipengaruhi net sell investor asing dalam sebulan terakhir. Yakni, sebanyak Rp 17 triliun. Ditambah sejumlah kasus yang mendera emiten di sektor teknologi. ’’Itu menjadi pemberat indeks. Sebab, menarik kinerja emiten lain yang terkorelasi,’’ tambahnya.
Dengan demikian, masyarakat harus selektif dalam memilih reksa dana. Kalau basisnya indeks seperti LQ45 dan IDX30, perlu hati-hati. Diperkirakan, kenaikannya tidak akan sampai 10 persen pada 2023. Sementara itu, yang dikelola manajer investasi dengan aktif, bergantung sektoralnya. Emiten perbankan, konsumer, dan metal masih bisa diandalkan.
’’Cuma, targetnya 2023, IHSG harus mampu break-high di 7.350. Setelah itu, baru bicara 7.600. Jika melihat level sekarang (6.850,619), butuh minimal 10–12 persen kinerjanya di 2023. Tapi, sepertinya berat,’’ urainya.
Gembong mengimbau agar investor mengembangkan aset alokasi. Memecah produk dengan fungsi yang berbeda. Likuiditas berarti reksa dana pasar uang. Stabilitas adalah pendapatan tetap yang menarik tahun ini. Karena suku bunga kenaikannya terbatas, bahkan cenderung turun. Itu perlu dikuatkan.
Reksa dana saham boleh agresif sampai kuartal I 2023. Setelah itu, dialihkan ke pendapatan tetap atau pasar uang. Apalagi, inflow investor asing yang masuk ke Indonesia tidak akan sekencang pada 2022.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi menyatakan, kinerja reksa dana masih mengalami penurunan. Penyebabnya beberapa faktor. Terutama terkait kebijakan shifting unit link ke instrumen keuangan lain di luar reksa dana.
Sampai dengan 27 Desember 2022, total nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana minus 12,58 persen YtD. Dari Rp 578,44 triliun per 30 Desember 2021 menjadi Rp 505,69 triliun.
Jumlah produk per 28 Desember 2022 turut merosot. Turun 2,5 persen menjadi 2.143 produk dari sebelumnya 2.198 produk pada 30 Desember 2021. ’’Penurunan NAB tentu juga berdampak pada nilai keseluruhan dari asset under management (AUM) per 27 Desember 2022 tercatat turun 2,49 persen dari sebelumnya sebesar Rp 850,73 triliun menjadi Rp 829,56 triliun,’’ paparnya.
Credit: Source link