Kemnaker Tegaskan RI Tidak Mengenal Sistem Upah ‘No Work, No Pay’

Kemnaker Tegaskan RI Tidak Mengenal Sistem Upah ‘No Work, No Pay’

JawaPos.com– Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indah Anggoro Putri menegaskan bahwa Indonesia tidak mengenal sistem pengupahan ‘no work, no pay’ atau tidak bekerja tidak dibayar. Hal ini disampaikan guna merespons permintaan pengusaha agar bisa memberlakukan asas no work no pay untuk meminimalisir dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Negara ini tidak mengenal istilah (pengupahan) no work, no pay,” kata Indah Anggoro Putri dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (6/1).

Ia menjelaskan, jika perusahaan mengalami kesulitan finansial dapat menyelesaikannya dengan menggelar dialog bipartrit bersama pegawai. Kemudian, hasil dari dialog tersebut dapat dicatat secara tertulis dan dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.

“Jadi, Kalau ada kebijakan fleksibilitas jam kerja dan upah itu harus berdasarkan kesepakatan bipartit antara pengusaha dan pekerja. Hasilnya harus tertulis kesepakatannya, kemudian dicatat ke Dinas Tenaga Kerja,” jelasnya.

Diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri tekstil kehilangan 50 ribu pekerja pada periode Agustus 2022. Bahkan, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan terus menghantui imbas kurangnya daya beli dunia dan domestik Indonesia.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Anne Patricia Sutanto mengatakan, guna meminimalkan dampak PHK tahun 2023 pengusaha meminta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk menerbitkan peraturan menteri ketenagakerjaan atau permenaker tentang jam kerja fleksibel atau flexible working hours. Ini dilakukan agar pihaknya bisa memberlakukan asas ‘no work, no pay’.

Anne yang juga mewakili para pengusaha yang tergabung dalam APINDO, API, APRISINDO serta Asosiasi Garmen yang dimiliki oleh Korea dan Jepang meminta Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah untuk merilis aturan agar perusahaan bisa memberlakukan jam kerja minimal 30 jam seminggu.

“Saat ini kan undang-undang kita menyatakan 40 jam seminggu. Untuk mengurangi jumlah PHK supaya fleksibilitas itu ada dengan asas no work no pay saat tidak bekerja,” kata Anne dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI dan Menaker, Selasa (8/11).

Lebih lanjut, ia juga meminta dukungan kepada Komisi IX DPR RI untuk merestui aturan yang harapannya bisa dikeluarkan menaker. Sehingga perusahaan bisa mengurangi jumlah orang yang terkena PHK.

“Oleh karena itu kami mohon kepada komisi IX untuk mengurangi jumlah orang yang di PHK bisa merestui adanya suatu kebijakan dari kemnaker dalam bentuk permenaker sehingga bisa diterima oleh buyers atau global brands yang selalu menginginkan adanya rules of law dari social compliance dari dunia usaha,” ujarnya.

“Kami ingin ini disosialisasikan dalam permenaker dan direstui oleh Komisi IX,” imbuhnya. (*)

Editor : Dinarsa Kurniawan

Reporter : R. Nurul Fitriana Putri


Credit: Source link

Related Articles