Alami Deflasi Jelang KTT G20, Indikasi Belanja Barang untuk Persiapannya di Bali Minim

Seorang pedagang melayani pembeli di Pasar Nyanggelan, Denpasar. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Jelang KTT G20, Indeks Harga Konsumen (IHK) Bali justru mengalami deflasi 0,05 persen. Ini, ditunjukkan dengan penurunan IHK dari 112,45 pada September menjadi 112,39 pada Oktober.

Pengamat ekonomi dari Universitas Udayana, Putu Krisna Adwitya mengatakan, terjadinya deflasi jelang G20, terutama pada komponen harga bergejolak, mengindikasikan belanja barang untuk kesiapan G20 tidak banyak terjadi di Bali. Secara nasional bila dikomparasikan dengan data month to month (mtm) Oktober memang terjadi penurunan indeks harga konsumen sebesar 0,11%.

Kondisi itu menurutnya belum bisa serta merta dikatakan terjadi karena daya beli rendah. “Bisa jadi ini dikarenakan respons otoritas dari level pusat dan daerah/TPID yang cukup baik dalam meredam inflasi yang disebabkan akibat kenaikan harga BBM terutama terhadap komoditas volatile Food maupun kelompok administered price atau harga yang diatur pemerintah yang ekspektasinya masih di bawah perkiraan,” ujarnya.

Sementara itu, pelaku pariwisata Hery Angligan, Selasa (1/11) mengatakan, KTT G20 secara umum memberi dampak ekonomi dan pariwisata dalam kondisi pandemi COVID-19 ini. Dari sisi akomodasi dan bergeraknya ekonomi, otomatis terdampak dengan adanya G20 seperti rent car dan penyerapan tenaga kerja.

Namun, ia mengingatkan, ada beberapa catatan yaitu keterlibatan masyarakat lokal dalam event ini masih rendah. Masyarakat dalam hal ini pengusaha tak banyak kecipratan.

Sementara event ini diambil alih oleh pemerintah pusat yang notabene EO serta sumber daya pusat juga dilibatkan. Sementara Bali hanya kebagian tenaga liason officer seperti driver dan karyawan hotel.

Namun kemudian ia mempertanyakan terkait imbauan untuk beberapa tanggal yang membatasi kegiatan masyarakat. “Apakah tujuannya untuk memberi kelancaran bagi delegasi atau ingin menunjukkan bahwa kita masih dalam kondisi pandemi sehingga dilakukan pembatasan -pembatasan?” tanyanya.

Dapat dibayangkan dampak secara langsungnya jika terjadi pembatasan aktivitas masyarakat pada tanggal tersebut, perputaran ekonomi di Bali akan berkurang. Sebab, ada potensi berkurangnya pendapatan dan penjualan dari masyarakat yang terpaksa berhenti aktivitasnya.

Namun ia mengapresiasi terkait imbauan ini telah diumumkan jauh hari sebelumnya. Sehingga masyarakat bisa mengantisipasinya. Masyarakat Bali justru tersisih dari perhelatan yang dilaksanakan di Bali, menurutnya, dari awal seperti itu realitanya.

Terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bali Hanif Yahya, Selasa (1/11) mengatakan, meskipun secara mtm, Bali mengalami deflasi namun secara yoy (Oktober 2022 dibandingkan Oktober 2021), Bali mengalami inflasi cukup tinggi yaitu 6,99%.

Secara bulanan deflasi terjadi karena penurunan harga barang atau jasa konsumsi masyarakat yang ditunjukkan oleh turunnya IHK pada dua kelompok pengeluaran yaitu kelompok makanan,minuman, tembakau dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Sementara kelompok lainnya mengalami inflasi.

Berdasarkan komponen, secara mtm, penyumbang inflasi tertinggi yaitu inflasi inti dengan andil 0,16%, harga yang diatur pemerintah menyumbang inflasi 0,11% dan harga bergejolak menyumbang deflasi 0,32%. Secara yoy, penyumbang inflasi tertinggi juga dari komponen inti sebesar 3,02% dan harga yang diatur pemerintah menyumbang inflasi 2,55% dan harga bergejolak menyumbang 1,42%.

Secara mtm komponen inti mengalami inflasi 0,24%, harga yang diatur pemerintah menyumbang inflasi 0,60% dan harga bergejolak mengalami deflasi 2%. Secara yoy, komponen inti mengalami inflasi 3,54% dan harga yang diatur pemerintah mengalami inflasi cukup tinggi mencapai 13,81% dan harga bergejolak mengalami inflasi 4,30%.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali Trisno Nugroho mengatakan, terjadinya deflasi tersebut tidak terlepas dari upaya Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali untuk menjaga stabilitas harga kelompok volatile food, dan mengurangi dampak second round effect kenaikan harga BBM terhadap komoditas kelompok core inflation.

Secara disagregasi, kelompok volatile food mengalami deflasi sebesar -2,00% (mtm), terutama didorong oleh penurunan harga cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah seiring dengan masih berlangsungnya musim panen dan program Operasi Pasar yang dilaksanakan oleh TPID Kabupaten/Kota seluruh Bali.

Selain itu, deflasi juga bersumber dari penurunan harga daging ayam ras dan telur ayam ras akibat tingginya impor Day Old Chicken (DOC) periode yang lalu dan penurunan harga pakan ternak. Namun demikian, laju deflasi kelompok volatile food tertahan oleh kenaikan harga beras seiring dengan penurunan produksi padi dan kenaikan harga pupuk nonsubsidi.

Selanjutnya, kelompok administered prices (AP) mengalami inflasi sebesar 0,60% (mtm), lebih rendah dari 6,88% (mtm) pada bulan sebelumnya. Kenaikan harga bensin (Pertalite, Pertamax) pada tanggal 3 September 2022 menyebabkan rata-rata harga pada Oktober 2022 sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Selain itu, tekanan inflasi juga bersumber dari kenaikan tarif angkutan udara, angkutan antar kota, dan tarif kendaraan roda 4 online yang mengalami efek domino dari kenaikan harga BBM.

Sementara itu, kelompok core inflation tercatat mengalami inflasi sebesar 0,24%, berbalik arah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi sebesar -0,14% (mtm). Inflasi pada kelompok tersebut dipengaruhi oleh kenaikan permintaan canang sari sejalan meningkatnya intensitas upacara keagamaan. (Citta Maya/balipost)

Credit: Source link