JawaPos.com – Sistem peringatan dini bencana alam tsunami sejatinya sudah dipasang untuk memantau perairan selatan Jawa hingga Bali. Sayang, alat peringatan dini berupa buoy atau pelampung di Malang, Jawa Timur, dan di selatan Bali hilang.
Menurut Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) M. Ilyas, tak ada maksud menuding pihak mana pun sebagai penyebab. Dia hanya menyayangkan.
Sebab, selain bermanfaat sebagai pemantau dini, pada umumnya, setelah ditempatkan sekian lama di perairan, di sekitar buoy banyak ikannya.
Bisa jadi buoy itu hilang hanyut dibawa ombak karena talinya terputus akibat aktivitas pencarian ikan di sekitarnya. Dia menyebutkan, buoy yang tersisa saat ini ada di Selat Sunda dan Cilacap. Rencananya, tahun depan BPPT memasang tujuh unit buoy sebagai sistem peringatan dini tsunami.
Tujuh perangkat itu dipasang mulai Enggano, Bengkulu; Cilacap, Jawa Tengah; Malang, Jawa Timur; selatan Bali; sekitar Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur; sekitar Selat Makassar; dan satu lagi di sekitar Gunung Anak Krakatau. Tahap berikutnya, sejumlah perangkat buoy akan dipasang di Indonesia bagian timur.
Baca juga: Ada Potensi Bencana di Selatan Jawa, Siapkan Mitigasi Ancaman Tsunami
Selain itu, BPPT akan memasang perangkat advance cable based tsunameter (CBT). Ilyas mengatakan, sesuai dengan namanya, advance CBT ini lebih meningkat fungsinya dibandingkan dengan CBT yang ada saat ini di Gunung Anak Krakatau.
Ilyas menjelaskan, CBT generasi lama dipasang di dekat pesisir atau pantai. Sementara itu, advance CBT dipasang lebih masuk lagi ke laut lepas. ’’Dipasang di sekitar titik berpotensi terjadinya gempa dan memicu tsunami,’’ katanya kemarin (1/10).
Perangkat advance CBT itu akan dipasang mulai Sumatera sampai bagian selatan Pulau Jawa. Menurut Ilyas, dengan adanya perangkat advance CBT, peringatan dini tsunami bisa lebih cepat tersampaikan ke stasiun pemantau, kemudian diteruskan ke masyarakat.
Dia memperkirakan, tsunami butuh waktu 20 sampai 30 menit untuk sampai ke pantai. Di waktu krusial itu, penduduk sekitar pantai dapat segera melakukan evakuasi ke lokasi yang lebih aman.
Dia menjelaskan, adanya pemodelan sehingga muncul potensi gempa besar dan tsunami setinggi 20 meter itu sebagai peringatan. Dia bahkan mengatakan, sebelumnya ada pemodelan yang menyebutkan tsunami akibat gempa besar di selatan Pulau Jawa bisa sampai 50 meter.
Dengan adanya pemodelan yang ilmiah itu, pemda di sekitar pesisir dapat memulai mengambil kebijakan mitigasi bencana. Misalnya, untuk daerah yang rendah, bisa mulai merancang rute evakuasi penduduk sampai ke titik aman. Kemudian, dihitung dengan detail berapa waktu yang dibutuhkan masyarakat sampai ke titik aman.
Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan, informasi potensi gempa kuat di zona megathrust memang sangat menarik, namun bisa memicu keresahan karena salah pengertian (misleading).
’’Tujuannya untuk mitigasi, tapi masyarakat memahaminya seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Padahal, tidak ada yang bisa memprediksi,” jelasnya.
Daryono menyebut, tsunami dengan ketinggian puluhan meter dari skenario model yang dihasilkan merupakan gambaran terburuk untuk dapat dijadikan acuan dalam upaya mitigasi guna mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami.
Saksikan video menarik berikut ini:
Editor : Ilham Safutra
Reporter : wan/tau/c17/ttg
Credit: Source link